Assalamualaikum Ukhti dan Akhi…
Aku mau menulis cerita baru nih. Yah, masih seputaran kekerasan seksual dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sih pastinya. Kali ini ceritaku ingin membahas tentang Hari Internasional untuk Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya atau International Day for the Remembrance of the Slave Trade and its Abolition. Hari tersebut diperingati setiap tanggal 23 Agustus di setiap tahunnya yang telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Hari itu diperingati sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional untuk memerangi perdagangan budak di seluruh dunia. Hmmm menarik ini kalo kita perhatikan situasi terkini tentang perbudakan. Nah, nanti kita bahas itu di paragraf selanjutnya. Kalo yang aku baca dari beberapa bahan bahwa hari tersebut diawali dengan adanya pemberontakan budak di Haiti dan Dominika untuk melawan perdagangan atas diri mereka. Hingga hari ini diperingati sebagai Hari Internasional untuk Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya.
Perjuangan rakyat Haiti dan Dominika menjadi sangat penting atas perjuangan hak asasi manusia secara universal. Kemudian ada gerakan anti perbudakan lintas Atlantik yang disebut dengan peristiwa “Revolusi Haiti” pada 22-23 Agustus 1971. Gerakan ini mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menetapkan terjadinya Revolusi Haiti sebagai titik sejarah tentang penghapusan perdagangan budak sedunia. Hiiwwoooww aku merinding menulisnya. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Namun, masa iya sih perdagangan manusia benar-benar sudah ga ada? Kalo aku perhatikan sih masih ada ya, bentuknya aja berbeda. Hhmm, untuk memastikan asumsiku, aku sudah ngobrol-ngobrol sama Mba Anis Hidayah sebagai Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi sekaligus Board untuk organisasi yang peduli terhadap permasalahan para buruh migran Indonesia, disebut Migrant Care.
Nah, kalo kata Mba Anis begini, “sebenarnya fenomena perdagangan manusia itu masih memuncaki tren yang terus meningkat, apalagi situasi pandemi, bagaimana sindikat (perdagangan orang) masih bekerja secara intensif untuk memanfaatkan situasi baru di mana kelompok miskin itu makin banyak. Kemudian orang yang dulu settle dengan pekerjaannya jadi banyak kehilangan, PHK masif, kemudian teman-teman yang bekerja di luar negeri banyak yang dipulangkan, dan mereka yang gagal berangkat itu ada puluhan ribu. Jadi, situasi kemiskinan yang semakin meningkat, itu kemudian dimanfaatkan oleh sindikat untuk bekerja dengan merekrut masyarakat terutama perempuan untuk diperdagangkan.”
Nah, loh… nyata adanya loh, Ukhti dan Akhi. Situasi pandemi yang serba susah ini pun masih ada yang mengambil kesempatan untuk merugikan orang lain. Lalu, sebanyak 70% korban perdagangan orang di Indonesia adalah perempuan dan anak-anak. Itu menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) saat berkampanye “Anti Perdagangan Orang” di Taman Suropati, Jakarta Pusat pada Agustus 2019 lalu.[1] Hmm datanya nyambung ya sama apa yang dikatakan Mba Anis kalo banyak perempuan yang menjadi korban perdagangan. Modus dari perdagangan orang ini beragam deh, dan memanfaatkan tingkat ekonomi masyarakat di desa yang tergolong gak mampu atau kurangnya akses pendidikan. Jadi diiming-iming uang gitu, kaya kasus 29 perempuan dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat yang dikirim ke China pada 2018 silam.
Sudah pasti perdagangan orang sangat merugikan, bisa dikatakan sebagai bentuk eksploitasi atau pemanfaatan atas diri orang lain secara semena-mena. Contoh semena-mena misalnya si korban dijanjikan kehidupan yang layak apabila menikahi satu orang tertentu tapi malah ujung-ujungnya dijadikan budak, atau dijanjikan dapat pekerjaan, tapi sampe di lokasi tertentu malah gak dibayar, dipukuli, diperkosa, dikasih makan telat, dan sebagainya. Seperti cerita Monika di atas tuh. Nyatanya ia dipukuli, dipekerjakan tanpa batas waktu, dan dilecehkan.[2] Padahal negara kita tuh punya Undang-Undang yang mengatur pemberantasan tindak perdagangan. Namun, menurut Pakar hukum dan pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala bilang kalo di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) gak mengatur tentang eksploitasi sebagai bentuk jenis kekerasan seksual.[3]
Menyambung obrolanku dengan Mba Anis, ia juga bilang kalo, “circle kekerasan seksual terhadap pekerja migran itu mengancam nyawa, tidak hanya terancam masa depan, traumatik yang berkepanjangan, tapi juga mengancam nyawa kelompok perempuan dalam situasi seperti itu.” Jadi inget dengan kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dilecehkan secara seksual oleh majikannya dan ia membela diri hingga melukai pelaku. Iya, seperti yang dialami korban kekerasan seksual Alm. Tuti Tursilawati. Pembelaan dirinya gak diterima oleh Pemerintah Arab Saudi hingga ia mendapatkan hukuman mati. Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Nah, aku tanya tuh ke Mba Anis soal peran RUU P-KS dalam kasus Tuti Tursilawati. Ya, seperti kita ketahui bersama kalo warga negara yang ada di negara lain harus mengikuti peraturan negara yang dihuni, namun RUU P-KS merupakan legislasi pokok yang harus ada sebagai tingkatan yang kuat dan positioning diplomatic negara Indonesia di tingkat Internasional dan Regional. Maksudnya, supaya negara lain dapat melakukan koordinasi dulu kalo mau menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual. Pokoknya Mba Anis mendukung dan menginginkan adanya aturan yang menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Untuk rasa penasaranku tentang posisi RUU P-KS memandang korban kekerasan seksual yang melakukan pembelaan diri dengan menyakiti pelaku, aku juga sudah ngobrol-ngobrol sama Mba Zuma. Ia merupakan koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, salah satu organisasi yang berdiri di garda terdepan untuk mendorong pemerintah agar segera mengesahkan RUU P-KS. Pas ngobrol aku tanya soal bagaimana sih seorang pekerja perempuan atau korban perdagangan yang mengalami kekerasan seksual kemudian membela diri dengan menyakiti pelaku? Kata Mba Zuma, dalam UU negara kita hari ini, si korban kekerasan seksual yang melakukan tindak pidana tetap dinyatakan bersalah meskipun yang bersangkutan membela diri. Namun, hukuman yang diberikan akan sedikit menjadi ringan karena korban kekerasan seksual melakukan itu sebagai bentuk pembelaan diri.
Tetapi, ia menyatakan kalo RUU P-KS sangat jelas dan lengkap ketika melihat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang berupaya membela diri dengan melakukan tindak pidana. RUU P-KS ga hanya mengatur bagaimana pencegahan, penanganan, pemulihan, sampai dengan rehabilitasi. Sehingga si korban kekerasan seksual yang melakukan tindak pidana untuk membela diri akan dilindungi oleh RUU P-KS dengan berbagai macam pertimbangan atau ditelaah lebih dalam kenapa si korban kekerasan seksual melakukan tindakan pidana. Ia juga mengatakan kalo kekerasan seksual itu gak bisa dilihat secara hitam dan putih.
Sumber:
[1] Christoforus Ristianto, “Kementerian PPPA: 70 Persen Korban Perdagangan Orang Itu Anak dan Perempuan,” nasional.kompas.com, diakses pada 24 Agustus 2020 melalui https://nasional.kompas.com/read/2019/08/02/17304851/kementerian-pppa-70-persen-korban-perdagangan-orang-itu-anak-dan-perempuan
[2] Ry, “Modus Perjodohan, 29 Perempuan Indonesia Jadi Korban Perdagangan Manusia ke China,” nasional.okezone.com, diakses pada 24 Agustus 2020 melalui https://nasional.okezone.com/read/2019/06/24/337/2070031/modus-perjodohan-29-perempuan-indonesia-jadi-korban-perdagangan-manusia-ke-china
[3] Tsarina Maharani, “3 Alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mendesak Disahkan,” nasional.kompas.com, diakses pada 25 Agustus 2020 melalui https://nasional.kompas.com/read/2020/08/21/10010521/3-alasan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-mendesak-disahkan?page=all