Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi….
Huwoow! Ada yang tahu gak hari ini waktu kelahiran siapa? Aku kasih petunjuk deh… Beliau merupakan sosok yang lahir dari kalangan elit, kalo bahasa muda mudi hari ini tuh ‘privilese’. Ayahnya seorang menteri utama dan Ibunya seorang yang taat agama. Terpenting juga adalah, ia dididik menjadi pejuang anti kekerasan. Siapakah dia? Dia Dia adalah Mahatma Gandhi. Yup! Mungkin sebagian Ukhti dan Akhi pernah membaca atau ngefans dengan tokoh pengusung gerakan kemerdekaan asal India ini? Speaking of that, hari kelahiran beliau yang tepat pada 2 Oktober ini menjadi ide-ide terbentuknya Hari Tanpa Kekerasan Sedunia. Aku yakin, di dalam lubuk hati kita paling dalam pasti ada nilai-nilai kemanusiaan seperti Mahatma Ghandi. Seseorang yang percaya bahwa perlawanan tanpa kekerasan itu bisa terjadi. Salah satunya aku.. Hehehe…
Meski terkadang, aku menjadi pesimis ketika mengingat kembali sejarah-sejarah kekerasan di negara kita yang tercinta ini tak kunjung diselesaikan. September (penuh) Ceri(t)a adalah makna kiasan yang pas buat Tanah Air Indonesia. Ukhti dan Akhi pasti sudah sering mendengar tentang kejadian kelam yang dialami rakyat Indonesia pada 30 September 1965. Yes! G30S atau Gerakan 30 September. Persilahkan aku untuk #KupasTuntas tentang G30S yea~ Banyak dari kita mengetahui bahwa G30S adalah tindakan dari sekelompok individu yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Dulu, aku diceritakan oleh guru di sekolah tentang kekejaman PKI yang membuat kegaduhan hingga menghilangkan nyawa banyak orang. Pemberontakan PKI bertujuan untuk menurunkan Presiden RI Ke-2 waktu itu.
Aku juga nonton loh film dokumenter yang menceritakan tentang kekejaman orang-orang yang diduga partisan komunis pada tahun 1965. Kalian juga gak? Hingga sekarang, film itu selalu ditampilkan pada bulan September. Apalagi kalo bukan untuk mengingatkan para rakyat bahwa orang-orang komunis di Indonesia itu jahat banget. Namun, sebagai mukmin rahmatan lil’alamin, aku gak bisa sih menerima mentah-mentah setiap informasi. Semuanya harus dipertanyakan. Misalnya, kalo memang para komunis memberontak untuk menurunkan Soeharto, kenapa bukan yang bersangkutan yang diserang? Lalu, kok bisa ya para komunis yang adalah rakyat Indonesia memiliki senjata? Kemudian, kan banyak rakyat yang dituduh sebagai partisan komunis lalu ditangkap dan dipisahkan dari keluarga-dipenjara juga, padahal ia seorang pekerja seni yang gak ada hubungan dengan partai politik?
Wah, banyak sih yang ada di kepalaku. Aku harus banyak membaca, berdiskusi, dan lain-lain deh pokoknya. Jadi, gak cuma ikut-ikutan membenci kelompok-kelompok tertentu dari satu sumber saja. Bicara soal kekerasan yang terjadi pada tahun 1965, tentu saja Ukhti dan Akhi dapat menebak siapa yang paling dirugikan. Siapa lagi kalo bukannn? Ya jelas kelompok anak-anak dan perempuan~ Tidak sedikit kekerasan seksual dialami oleh kelompok perempuan yang sebenarnya hanya ingin memperjuangkan hak perempuan tetapi malah dituduh sebagai partisan PKI. You read it right! Yang aku maksud adalah Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Aku pernah menuliskan sedikit banyak perjuangan kelompok tersebut di sini. Tapi ya, namanya perempuan itu makhluk kuat dan sebenarnya pemberani, meski hilang satu (kelompok) namun tumbuh kelompok-kelompok lainnya.
Hingga hari ini, masih ada perempuan mantan tahanan politik atau keluarga penyintas yang mendapatkan stigma dan merasakan trauma, tapi tetap ingin mengungkap kebenaran atas apa yang terjadi pada masa kelam Indonesia pada September 1965 lalu. Dialita atau Di Atas Lima Puluh Tahun, nama yang indah seperti tujuan grup paduan suara ini dibentuk. Grup tarik suara ini beranggotakan perempuan-perempuan penyintas tragedi 1965. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri saat menjadi tahanan politik untuk menyuarakan suara-suara yang dibungkam. Tentu suara-suara mereka merdu dan dapat didengarkan di berbagai platform musik, seperti spotify. Selain melawan suara yang dibungkam lewat tembang-tembang sarat kenangan, perjuangan Dialita juga diejawantahkan melalui film dokumenter berjudul Song For My Children. Film dokumenter tersebut merupakan perpanjangan tangan untuk memberikan pandangan baru yang dibuat oleh Shalahuddin dan Ingrid Atmosukarto.
Mengharukan, karya tersebut menceritakan bagaimana Dialita gak menunjuk siapa yang bersalah dan harus disalahkan pada peristiwa kelam 1965. Namun, memberikan pandangan bahwa gak ada yang dapat menilai atau bahkan memberikan kekerasan terhadap siapapun, apapun latar belakang diri kita. See! Ukhti dan Akhi, aku belajar banyak dari para penyitas 1965 tentang bagaimana seharusnya aku menghargai orang lain, sama seperti yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi. Rasanya damai gitu kalo semuanya dapat dibicarakan dengan kepala dingin, gak menyalahkan, meminta maaf kalo ada salah, dan melakukan tindakan-tindakan damai lainnya.
Aku menjadi orang yang sentimentil di masa corona ini. And it’s totally okay! Aku prihatin banyak orang sakit, ditinggalkan untuk selamanya, kehilangan pekerjaan, mendapatkan kekerasan, hadeuh… Gak ada satupun wakil rakyat yang mengajak aku untuk melangkah ke depan, malahan terus jalan di tempat. Sampe cape sendiri. Ya, begitulah yang dilakukan oleh pemerintah sejak habis terjadinya tragedi 1965 hingga sekarang. Padahal hasil putusan sidang International People Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag pada 2015 silam menyatakan Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan yang termasuk kejahatan HAM berat pada 1965-1966. Salah satu dari 10 tindakan kejahatan HAM di dalamnya adalah kekerasan seksual.
Saat itu, hasil putusan sidang dapat didengar secara langsung oleh masyarakat di Tanah Air. Aku yakin kalo para penyintas merasa tercerahkan meski sejarah gak bisa dilupakan. Sayangnya, Presiden Jokowi beserta menteri jajarannya gak menggubris hasil keputusan sidang IPT 1965, hingga hari ini. Pasalnya, sidang tersebut dianggap gak mengikat dan direspon dengan kekesalan oleh Menko Polhukam tahun 2016. Menurutnya, pihak asing terlalu ikut campur dalam usaha pemerintah menyelesaikan kasus 1965. Yap, mengharukan plus tragis. Namun, usaha sekelompok masyarakat yang rindu damai dan keadilan gak pernah usai kok, Ukhti dan Akhi. Data-data kasus kekerasan seksual yang terus menggunung setiap tahunnya, melahirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yuhuuu RUU P-KS shay~
Meski katanya “terlalu sulit” namun upaya masyarakat sipil memberantas tindak kekerasan seksual tak pernah padam. Kayak obor pertamina di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebagai Kota Minyak yang punya jadwal pemadaman listrik, namun ada obor yang berupaya menerangi kala gelap menutup penglihatan. Semacam itulah usaha masyarakat sipil yang terus ingin memberikan penerangan kepada para korban, penyintas, dan kelompok rentan kekerasan seksual di Indonesia melalui RUU P-KS. Wah, aku gak nyangka sih. Kalo memperhatikan kembali isi dari RUU P-KS, isinya sangat sejalan dengan sikap-sikap yang dicontohkan oleh Mahatma Gandhi. Sikap yang adil, tanpa kekerasan, cinta damai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ukhti dan Akhi, perlu banget sih baca tulisanku #KupasTuntas RUU P-KS di sini.
Sumber:
Halo Kawan #GengBeda! Ketemu lagi dengan Sesa dan Pedro. Kami ingin ngobrol bareng kamu, nih,…
Jumat malam Gema, Sesa, Pedro, Nisa dan Ibnu janjian virtual meeting seperti wiken-wiken sebelumnya. #GengBeda…
Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Nisa pusing banget, nih. Data dan fakta tidak cukup…
Halo kawan #GengBeda! Ketemu lagi bareng Sesa di musim Cancer ini. Katanya sih goncangan hidup…
Assalamualaikum ukhti dan akhi! Balik lagi bersama Nisa nih, semoga ngga bosen yah sama Cerita…
Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Balik lagi nih sama Nisa si remaja masjid yang…