Pilih Laman

Puasa-Puasa Nutup Lokalisasi?

30 Apr, 2020

Hai #GengBeda! Jumpa lagi nih sama Sesa. Gimana puasanya? Lancar bin mabrur? Semoga ya. Nah, kesempatan kali ini Sesa mau ajak #GengBeda buat ngomongin tentang ketidakadilan yang dialami oleh teman-teman pekerja seks. Loh, kok puasa ngomongin pekerja seks? Seperti yang teman-teman #GengBeda tahu, memasuki bulan Ramadhan pemerintah pusat, daerah, dan organisasi masyarakat lokal sering menutup sejumlah lokalisasi dan tempat hiburan malam. Di 2016 misalnya, Mantan Menteri Sosial Khofifah menutup 99 lokalisasi di sejumlah daerah. Selain karena menghormati bulan Ramadhan, Khofifah mengatakan penutupan lokalisasi dilakukan guna mengurangi penyakit sosial masyarakat. Eh, apa bener lokalisasi itu penyakit sosial?

 

Untuk menjawab itu Sesa mau ajak #GengBeda untuk cari tahu apa sih definisi penyakit sosial. Menurut kamus Oxford, penyakit sosial atau social diseases adalah fenomena sosial yang dianggap tidak senonoh atau jahat. Sedangkan dalam kajian sosiologi, Blumer dan Thompson mendefinisikan penyakit sosial sebagai kondisi tertentu yang dapat mengancam nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh Durkheim mengidentifikasikan penyakit sosial atau patologi sosial sebagai permasalahan sosial yang berpotensi meruntuhkan sistem sosial yang mapan. 

 

Seperti yang kawan #GengBeda tahu, pekerja seks dan lokalisasi sering dianggap sebagai hal negatif. Stigma seperti perempuan rendahan, perempuan  yang tubuhnya rela dibayar dengan uang, bahkan perempuan hina melekat pada pekerja seks. Stigma ini muncul karena dianggap tidak sesuai dengan nilai dan budaya ketimuran Indonesia. Beberapa pekerja seks juga ada yang dilaporkan dan dianggap melakukan tindakan kriminal. Penolakan bahkan penyerangan terhadap lokalisasi juga banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat. Puncak tindakan penolakan ini adalah penutupan lokalisasi secara paksa oleh pemerintah daerah. Kenapa bisa begitu?

 

Temuan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada 2017 menunjukkan jika penutupan lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks dilakukan karena adanya persepsi bahwa lokalisasi dan pekerja seks merupakan sumber penyebaran infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS. Namun dalam teorinya, Durkheim mengajak kita berpikir jauh tentang inti masalah dan proses terciptanya patologi dalam struktur sosial masyarakat. Lokalisasi dan pekerja seks adalah sebuah fenomena. Sementara yang menjadi inti masalah adalah kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan gender, dan korupsi, yang mana semua itu menyebabkan fenomena-fenomena sosial tadi. Dengan kata lain, yang menjadi fokus dari penyakit sosial adalah nilai-nilai dan sikap yang dapat meruntuhkan sistem sosial yang mapan tadi. Ketidakadilan gender dan diskriminasi jelas berpengaruh besar dalam menciptakan fenomena-fenomena sosial yang kita lihat selama ini. 

 

Selama ini kita hidup di tengah tatanan masyarakat yang tidak sensitif gender, maskulin, kapitalis, dan diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini kemudian menciptakan suatu kondisi di mana perempuan menjadi kelompok yang terbelakang secara pendidikan maupun ekonomi. Lokalisasi kemudian lahir akibat kondisi perempuan yang termarjinalkan. Lokalisasi lahir dari sebuah kacamata di mana perempuan harus submisif dan hanya laki-laki yang aktif secara seksual. Lokalisasi hadir di mana definisi perempuan yang baik adalah perempuan yang taat pada suami dan tabu mengenai hal-hal yang berurusan dengan seks. Lokalisasi juga hidup di tengah ketidakadilan gender masih subur, terlebih perempuan pekerja seks yang seringkali dianggap sebagai objek. Karena lokalisasi adalah fenomena yang muncul dari sebuah masalah, maka tindakan menutup lokalisasi demi mengurangi penyakit sosial jadi nggak nyambung. Pemerintah seharusnya ngambil tindakan yang realistis dan menyasar akar masalah. Lah, gimana dong Sesa solusinya?

 

Jika memang yang dikhawatirkan adalah penyebaran penyakit IMS, sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa pemerintah tempuh. Pertama, tidak menutup lokalisasi. Menurut penelitian dari Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas Atmajaya, penutupan lokalisasi justru berdampak buruk terhadap penanggulangan HIV. Penutupan lokalisasi menyebabkan tenaga kesehatan sulit melakukan sosialisasi HIV. Pekerja seks juga jadi menyebar dan sulit terpantau. Selain itu pekerja seks jadi enggan mengakses layanan kesehatan karena takut ketahuan oleh petugas yang berwenang. Penutupan lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks juga menambah lemahnya daya tawar pekerja seks terkait penggunaan alat kontrasepsi. Selama ini, petugas atau penjangkau HIV lebih sering melakukan sosialisasi ke pekerja seks. Padahal, untuk urusan penyebaran penyakit menular, pelanggan juga berperan penting dalam pencegahan tersebut. Selama ini pelanggan pekerja seks enggan menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan seksual. Pelanggan juga sering kali melakukan kekerasan terhadap pekerja seks, di mana hal ini memperbesar peluang terjadinya penyebaran HIV. 

 

Upaya kedua yang bisa dilakukan pemerintah dan cukup penting adalah menghapus diskriminasi terhadap perempuan, menghilangkan ketidakadilan gender, dan memberdayakan perempuan. Pemerintah harus menjamin bahwa baik perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang setara untuk meraih pendidikan setinggi mungkin, punya kesempatan yang sama dalam mendiskusikan isu-isu kesehatan seksual seluas dan sedalam mungkin, serta melakukan gender mainstreaming, dan mempertimbangkan aspek gender dalam mengambil setiap kebijakan. 

 

Singkatnya, Sesa mau bilang ke #GengBeda bahwa kadang-kadang kita suka terjebak sama pikiran kita tentang apa yang dianggap baik dan buruk tanpa berani melihat lebih dekat ke akar masalah. Kepercayaan kita terhadap mana yang baik dan buruk seringkali membuat kita tersesat dalam mengambil langkah, salah satunya penutupan lokalisasi. Pemerintah mestinya dapat bersikap lebih kritis dan realistis dalam melihat fenomena sosial, sehingga solusi yang ditawarkan tepat sasaran dan ga salah sambung hehe

 

Referensi:

 

Putu Agung Nara, “Sambut Ramadhan, Kemensos Akan Tutup 99 Lokalisasi”, Tirto.id, diakses pada 28 April 2020, melalui https://tirto.id/sambut-ramadhan-kemensos-akan-tutup-99-lokalisasi-83Q 

http://sosiologis.com/patologi-sosial 

 

Irvan N, “Seks Di Luar Nikah, Patologi Sosial atau Bukan?”, Kumparan.com, diakses pada 28 April 2020, melalui https://kumparan.com/temali/seks-di-luar-nikah-patologi-sosial-atau-bukan-1s4yDKl0LPn/full 

 

“Patologi Sosial: Pengertian dan Contohnya”, Sosiologis.com, diakses pada 28 April 2020, melalui http://sosiologis.com/patologi-sosial 

 

Pusat Penelitian HIV/AIDS Atmajaya, “Hasil Penelitian Dampak Penutupan Lokalisasi,” diakses pada 28 April 2020, melalui https://www.atmajaya.ac.id/web/Konten.aspx?gid=highlight&cid=Lecture-Series-PPH-Lokalisasi

 

Astried Permata, “Ibu Rumah Tangga: Kerentanan ‘Alamiah’ Transmisi HIV”, Magdalene.co, diakses pada 28 April 2020, melalui https://magdalene.co/story/ibu-rumah-tangga-kerentanan-alamiah-transmisi-hiv 

 

Fuji Aotari, “Seri Monitor dan Dokumentasi: Diskriminasi HIV, Stigma yang Mewabah”, LBHM, diakses pada 28 April 2020, melalui https://lbhmasyarakat.org/seri-monitor-dan-dokumentasi-iv-diskriminasi-hiv-stigma-yang-mewabah/ 

 

 

Penulis : Astried Permata

Beranda / Cerita Sesa / Puasa-Puasa Nutup Lokalisasi?

Artikel Lainnya

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share This
Skip to content