Categories: Cerita Sesa

#MerdekaStokARV: Kelangkaan Demokrasi

Halo Geng Beda, jumpa lagi sama Sesa.

Selama pandemi, Geng Beda melihat berita-berita terkini selain kasus Covid-19 yang semakin meningkat gak sih? Kemarin tuh Sesa sempet baca beberapa cuitan teman-teman pegiat isu HIV/AIDS yang mengeluhkan kelangkaan obat antiretroviral (ARV). Wah, kacau banget yaa di tengah situasi di mana gerak dan tatap muka serba terbatas, teman-teman orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus dealing sama sulitnya dan rasa takut ke rumah sakit, ditambah lagi harus ketar-ketir karena kelangkaan obat yang selama ini berpengaruh besar pada kualitas hidup mereka. Geng Beda bisa lihat langsung cuitan ini melalui akun twitter @ODHAberhaksehat. Di sana teman-teman pegiat menggunakan hashtag #MerdekaStockARV buat naikin isu bahwa stok ARV kosong di beberapa daerah.

Masalah tentang kelangkaan obat ARV sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Isu ini sudah santer dari tahun 2018 silam. Kosongnya stok obat ARV disebabkan karena pemerintah mengalami gagal tender. Harga obat yang ditawarkan dua perusahaan farmasi naungan BUMN ini sangat mahal, yakni mencapai Rp 404ribu per botol. Padahal, harga di pasaran hanya sekitar Rp 120ribu per botol. Tingginya harga yang ditawarkan perusahan BUMN jelas membebani pemerintah yang menyediakan ARV secara gratis kepada lebih dari 120.000 ODHA. Usut punya usut, perusahaan BUMN tersebut diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Oktober 2018 lalu, Kejaksaan Agung mengusut kasus dugaan penggelembungan dana pengadaan obat ARV. Beberapa orang dari Kementerian Kesehatan dan sejumlah pihak dari PT Kimia Farma Trading & Distribusi dipanggil sebagai saksi. Hingga sekarang kasusnya belum juga terang.

Langkanya obat ARV jelas berdampak pada kehidupan teman-teman ODHA. Bagaimana tidak? Selama ini obat ARV merupakan ‘juru selamat’ bagi teman-teman ODHA untuk menjalani harinya. Obat ARV memiliki fungsi untuk menekan jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuh kita. Obat ini harus diminum setiap harinya tanpa berhenti. Jika tidak atau diganti dengan regimen obat lain, bisa-bisa virus HIV di dalam tubuh akan kebal dengan jenis obat yang selama ini ODHA konsumsi. Akibatnya fatal: mulai dari peningkatan jumlah virus HIV di tubuh, penurunan jumlah CD4, reaksi fisik yang tidak baik, hingga munculnya penyakit-penyakit oportunistik yang selama ini menjadi ancaman bagi ODHA.

Nah, di bulan demokrasi ini, Sesa mau ajak Geng Beda merenung tentang kelangkaan ARV dan kaitannya dengan demokrasi. Pas juga nih hashtag yang teman-teman pegiat HIV pakai buat advokasi stok ARV adalah #MerdekaStokARV.

Pertama, kalau ngomongin demokrasi pasti lekat banget sama namanya freedom atau kebebasan. Freedom jadi salah satu aspek dasar penentu demokrasi di mana sistem demokrasi hanya bisa berjalan pada kondisi rakyat yang merdeka. Menurut seorang ahli perkembangan manusia, Amartya Sen, demokrasi hanya bisa direalisasikan dalam kondisi tertentu, salah satunya ialah terjaminnya hak sipil dan politik setiap individu, sebagaimana yang juga sudah dijamin oleh Konstitusi di Indonesia. Namun, berbicara mengenai hak sipil dan politik, kita gak cuman berbicara mengenai hak berserikat dan berkumpul atau hak atas bebas dari penyiksaan. Dalam hak sipil dan politik, kita mengenal hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi atau non-derogable rights. Tanpa hak hidup, kita tidak bisa menikmati hak-hak lainnya.

Dalam beberapa konteks, termasuk konteks teman-teman ODHA, hak hidup dapat dijamin dengan pemenuhan hak atas kesehatan, yang didalamnya mencakup ketersediaan (availability), kualitas (quality), penerimaan (acceptability), dan akses (accessibility) terhadap layanan kesehatan: terapi obat ARV. Jelas bahwa obat ARV yang kosong di layanan kesehatan sudah tidak memenuhi prinsip hak atas kesehatan, khususnya ketersediaan dan aksesibilitas. Lebih jauh, karena langkanya obat ARV, beberapa pusat layanan kesehatan mencari solusi, yang tidak juga memperbaiki keadaan, seperti memberikan obat ARV yang kadaluarsa, mengganti regimen obat, atau memberikan ARV satuan kepada mereka yang biasa menggunakan ARV gabungan (FDC). Ketiga solusi yang ditawarkan pusat layanan kesehatan ini tidak sesuai dengan dua prinsip hak atas kesehatan, yakni kualitas karena memberikan ARV yang sudah dalam kondisi buruk/kadaluarsa dan penerimaan karena memaksa ODHA untuk minum obat setiap hari dengan jumlah yang lebih banyak daripada biasanya. Geng Beda bisa bayangin kalau untuk mengonsumsi satu butir obat sepanjang hidup aja adalah suatu yang berat, ditambah stigma dan diskriminasi dalam hidup, sekarang Geng Beda harus minum sekitar tiga butir setiap harinya.

Kedua, ketika berbicara tentang demokrasi kita juga berbicara tentang kepastian hukum. Seperti yang Geng Beda ketahui bahwa mayoritas negara yang tidak demokratis adalah negara di mana hukumnya tidak hadir untuk rakyat, melainkan memenuhi kebutuhan dan kepentingan elit politik. Mengingat isu kelangkaan obat ARV sudah ada sejak bertahun-tahun silam dan menyangkut kemaslahatan kesehatan publik, sudah seharusnya pemerintah mengusut tuntas kasus ini. Proses hukum mark up ARV ini juga harus dilakukan secara transparan dan terang menderang: melibatkan publik dan media. Pasalnya, kesehatan 200.000 ODHA adalah kesehatan 200 juta penduduk Indonesia. Karena, menjamin terapi ARV bagi ODHA juga berarti sebuah upaya untuk menekan angka transmisi HIV di Indonesia.

Sekarang, bagaimana bisa mengakses hak atas pendidikan, pekerjaan, atau berpartisipasi dalam politik di negara yang demokratis jika hak dasar seperti hak hidup dan pemenuhan hak atas kesehatan saja tidak bisa diberikan.

Nah, kalau sudah begini menurut Geng Beda apakah Indonesia sudah merdeka?

Sumber:

Aulia Adam, “Rapor Merah Penanganan HIV dan Dugaan Korupsi Obat ARV”, Tirto.id, diakses pada 16 September 2020 melalui https://tirto.id/rapor-merah-penanganan-hiv-dan-dugaan-korupsi-obat-arv-ekgv

Kemenko PMK, “Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030”, Kemenkopmk.go.id, diakses pada 16 September 2020, melalui https://www.kemenkopmk.go.id/menuju-indonesia-bebas-aids-2030

Tempo, “Stok Obat HIV-AIDS Langka”, Tempo.co, diakses pada 16 September 2020, melalui https://koran.tempo.co/read/nasional/450818/stok-obat-hiv-aids-langka

Penulis:

Astried Permata

admin

Recent Posts

Kutemukan Jalan Ninja, tuk Akses Informasi HKSR secara Aman dan Nyaman!

Halo Kawan #GengBeda! Ketemu lagi dengan Sesa dan Pedro. Kami ingin ngobrol bareng kamu, nih,…

3 tahun ago

Tak selalu kepompong, Konon Beginilah Persahabatan Kawan #Geng Beda

Jumat malam Gema, Sesa, Pedro, Nisa dan Ibnu janjian virtual meeting seperti wiken-wiken sebelumnya. #GengBeda…

3 tahun ago

Ulang Tahun ke-5 RUU P-KS: Kok Masih Sebatas “Rancangan”?

Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Nisa pusing banget, nih. Data dan fakta tidak cukup…

3 tahun ago

Musim Cancer: Barang Mantan? Buang Aja!

Halo kawan #GengBeda! Ketemu lagi bareng Sesa di musim Cancer ini. Katanya sih goncangan hidup…

3 tahun ago

Kisah Klasik Nisa dan “Si Gemini”

Assalamualaikum ukhti dan akhi! Balik lagi bersama Nisa nih, semoga ngga bosen yah sama Cerita…

3 tahun ago

NISA RECOMMEND: MELIHAT SISI KELAM EKSPLOITASI PEKERJA (ANAK)

Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Balik lagi nih sama Nisa si remaja masjid yang…

3 tahun ago