Perempuan pengguna narkotika merupakan kelompok yang hak atas kesehatannya seringkali dilanggar. Dalam hal akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan pengguna narkotika adalah salah satu sub populasi yang jarang dijangkau dan memiliki akses yang terbatas. Diskusi tentang layanan kesehatan seksual reproduksi di kalangan anak muda juga belum banyak melibatkan perempuan pengguna narkotika. Yang mana Sesa bisa pahami, mengingat kelompok perempuan pengguna narkotika adalah populasi tersembunyi. Kerangka hukum yang masih mempidana pengguna narkotika dan tingginya stigma di masyarakat terhadap perempuan yang bersinggungan dengan narkotika membuat kelompok ini makin enggan untuk bersuara.
Padahal nih, perempuan pengguna narkotika sangat mungkin terlibat dalam perilaku-perilaku berisiko loh kawan, seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril, terlibat dalam seks tidak aman, menjadi penyintas kekerasan seksual, hingga pengaruh substance atau zat yang berbahaya pada tubuh dan hormon perempuan. Yuk, bahas satu-satu!
Pertama, perempuan pengguna narkotika dapat terlibat dalam penggunaan jarum suntik tidak steril. Perlu dipahami, pemenjaraan tidak serta merta menghentikan pemakaian narkotika seseorang. Masalah ketergantungan terhadap zat tertentu baru bisa diselesaikan dengan pendekatan medis dan sosial yang prosesnya panjang. Sebaliknya, alih-alih membuat pengguna narkotika berhenti mengkonsumsi narkotika, yang terjadi ketika pemerintah memasukkan pengguna narkotika ke dalam lapas ialah adanya praktik penggunaan narkotika di dalam lapas. Tapi sayangnya, Lapas di Indonesia masih denial terhadap fakta tersebut. Akibatnya, mereka enggan menyediakan peralatan jarum suntik steril. Hal ini tentu saja membuat banyak perempuan pengguna narkotika terpaksa berbagi jarum suntik di dalam lapas.
Kedua, perempuan pengguna narkotika seringkali terlibat dalam hubungan seks tidak aman. Pusat Penelitian HIV/AIDS AtmaJaya menemukan bahwa pengguna narkotika jenis amphetamine-type stimulant (ATS), yang salah satunya sabu, memiliki perilaku seks berisiko tinggi. Orang yang dalam pengaruh sabu kerap abai atau lupa untuk memakai alat kontrasepsi saat berhubungan seks, khususnya ketika dengan pasangan intim mereka. Penelitian dari Perempuan Bersuara juga menemukan bahwa hanya 11% dari perempuan pengguna narkotika suntik yang mengaku konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan intim mereka. Hmm emang sih kadang kita suka percaya aja sama pasangan kita dan mengesampingkan keamanan. Padahal, keamanan saat berhubungan seks harus jadi yang utama yaa kawan #GengBeda. Lanjut yuk!
Nah, terlibat dalam hubungan seks tidak aman juga terjadi ketika perempuan pengguna narkotika melakukan seks transaksional. Apa tuh? Bagi perempuan pengguna narkotika yang memiliki latar belakang ekonomi rendah dan tidak mempunyai kesempatan kerja, seks transaksional adalah langkah yang diambil sebagai strategi bertahan hidup. Beberapa perempuan melakukan kerja seks untuk memenuhi kebutuhan narkotika mereka, kebutuhan narkotika pasangan mereka, atau sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Praktik ini sering dikenal dengan istilah turbo atau tukar body. Sederhananya, perempuan menawarkan jasa seks kepada penjual atau pengedar narkotika. Dalam turbo, relasi yang tidak setara antara perempuan dan pengedar narkotika menyebabkan perempuan seringkali berada pada hubungan seksual berisiko atau tanpa kondom. Relasi tidak setara juga memungkinkan adanya risiko perempuan mengalami kekerasan seksual. Nah, ini nyambung sama poin berikutnya.
Ketiga, perempuan pengguna narkotika rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Riset di berbagai negara menunjukkan bahwa perempuan pengguna narkotika memiliki risiko tinggi mengalami kekerasan seksual dan fisik dari pasangan intim mereka. Hal ini sering terjadi ketika mereka membutuhkan asistensi dari pasangan untuk menyuntikan atau memperoleh narkotika. Studi di Vancouver menemukan 68% perempuan pengguna narkotika suntik punya riwayat kekerasan seksual. Dari 69% ini, mayoritas pernah terlibat dalam perdagangan seks, bertukar jarum suntik dengan ODHA, dan pernah berusaha untuk bunuh diri, atau didiagnosis dengan gangguan psikososial. Kompleks banget gak tuh kawan?
Kekerasan seksual gak cuma dilakukan oleh pasangan intim, tapi juga aparat penegak hukum. Loh, kok?
Menurut penelitian dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) di 2017, lebih dari 24% perempuan tindak pidana narkotika mengalami kekerasan dari aparat penegak hukum. Dari kasus tersebut, 95% di antaranya dilakukan oleh kepolisian. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oknum dapat berupa meraba dan memaksa melakukan hubungan seks. Gak berhenti di situ, banyak juga perempuan yang mengalami kekerasan ketika mereka menjalani hukuman di lapas. Gak heran nih, beberapa penelitian menemukan perempuan pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum mengalami penderitaan mulai dari kekerasan fisik dan sosial, trauma, hingga gangguan psikiatrik. Jadi, kekerasannya kayak berlapis gitu.
Terakhir nih. Sesa mau highlight relasi perempuan terhadap substance atau zat narkotika dan zat adiktif lainnya yang dikonsumsi dan dampaknya ke tubuh dan kesehatan reproduksi mereka. Dari penelusuran Sesa, perempuan pengguna narkotika mempunyai risiko yang tinggi terhadap komplikasi reproduksi, termasuk tingkat kesuburan, keguguran, hingga infeksi saluran kemih. Beberapa studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan yang menggunakan kokain dalam masa kehamilan memiliki risiko lebih tinggi 38% untuk mengalami keguguran. Risiko-risiko ini juga berkaitan dengan perilaku berisiko saat mengonsumsi narkotika. Misalnya, perempuan yang mengonsumsi zat dengan cara merokok selama masa persiapan pra kehamilan memiliki risiko penurunan kesuburan dibanding perempuan yang menggunakan zat dengan cara tidak merokok. Selain itu, perempuan yang merokok selama hamil memiliki risiko keguguran lebih tinggi 20% – 80% dibanding perempuan yang tidak merokok.
Penggunaan zat selama proses kehamilan juga dapat berdampak pada bayi yang dikandung. Dalam dokumen European Monitoring Center for Drugs and Drugs Addiction (EMCDDA) menyebutkan bahwa bayi yang lahir dari Ibu yang aktif mengonsumsi opioid atau sedang menjalani terapi substitusi methadone dan buprenorphine sering terlahir dengan kondisi memiliki ketergantungan terhadap opioid. Kondisi ini disebut dengan neonatal abstinence syndrome atau NAS. NAS juga dapat ditemukan ketika Ibu mengonsumsi narkotika yang diresepkan dokter, seperti turunan Benzodiazepines.
Di sisi lain penggunaan beberapa zat narkotika dapat membantu perempuan melalui masa-masa sulitnya loh #GengBeda. Ada temuan anekdot di Amerika yang menunjukkan bahwa cannabis atau ganja beserta zat turunannya dapat membantu perempuan pulih dari rasa sakit selama menstruasi. Nah, penelitian lanjutan terkait khasiat cannabis saat menstruasi sedang dilakukan oleh Western Sydney University. Kita tunggu aja nih hasilnya.
Manfaat lain datang dari zat bernama MDMA. Kalau di sini biasa kita jumpai pada ekstasi. Udah lama banget Amerika Serikat pakai MDMA untuk memulihkan trauma dan PTSD para tentara perangnya dari Afganistan dan Irak. Terapi yang sama kemudian dilakukan terhadap penyintas kekerasan seksual. Banyak yang ngaku berhasil loh. Tapi inget terapi ini mesti didampingi oleh petugas profesional macam dokter gitu.
Nah, setelah panjang lebar bahas kerentanan perempuan pengguna mulai dari perilaku berisiko sampai pengaruh zat di tubuh, Sesa bisa simpulkan bahwa perempuan pengguna narkotika adalah kelompok rentan yang hubungan seksualnya tidak bebas dari paksaan, rentan mengalami diskriminasi, dan kekerasan. Hal ini yang harus kita perhatiin, suarain, dan pantau bersama. Ini penting supaya setiap tahap kehidupan perempuan pengguna narkotika mulai dari pubertas, menstruasi, kehamilan, bahkan menopause bisa terjamin nih kesehatannya. Bagaimanapun Sesa rasa kawan #GengBeda sepakat bahwa dalam hal HKSR, kita perlu memastikan bahwa: No one left behind. Yegak?
Penulis: Astried Permata – Pamflet Generasi