Pada tahun ketika X mulai belajar mengenal cinta, orang tuanya mengirim X ke luar kota untuk belajar agama. Mereka pikir X salah mencinta. Memang cinta ada metodenya?
X sadar bahwa jenis cinta yang ia miliki belum banyak dipahami orang. Salah-salah, urusan asmara bisa sama seriusnya dengan keselamatan. Pertama dan terakhir kali X mencoba berontak, dia hampir dipidanakan. Ya sudah, pikirnya. X sendiri tak mengapa tunduk pada aturan.
Masalahnya, kejujuran selalu lebih kuat daripada sandiwara, sekuat apapun X menolaknya. Suatu hari X bertemu dengan kriptonitnya, yang berwujud seorang barista dengan mata elektrik. Tatapan si barista mengeluarkan listrik yang menyengat tiap kali bertemu dengan mata milik X. Setiap kali ia memikirkan si barista, dada X bergejolak. Apa lagi kalau bukan cinta?
Ah sial, si barista datang. Mendadak nafas X jadi cepat dan pendek. Pahanya tegang, keringatnya banjir. Aliran darah X sederas air terjun. Dag-dig-dug. Tubuh X seperti baru saja dipakai lari maraton, padahal dari tadi dia cuma duduk.
“Ada yang mau dipesan lagi, Kak?”
“….”
“Kak?”
“U… ud… udah, Mas.” Ya ampun, semoga si barista tidak mendengar gemetar suara X.
“Nanti kalau mau tambah order bisa langsung ke kasir ya.” Kalimat pamungkas yang diucapkan dengan kombinasi senyuman yang membentuk segilima dan tatapan yang menukik. X nyaris mati kesetrum.
X sama sekali tidak menyukai perasaan diontang-antingkan seperti ini, tapi dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak datang melihat si barista. Orang seperti X memang lumrah berada dalam ketidakberdayaan seperti ini. Ada tembok diri yang X jadikan sebagai mekanisme hidup, yang telah ia bangun jauh ketika masih duduk di bangku SMP dulu.
***
Krriiinngg! Bunyi bel tanda masuk terdengar kencang sampai ke parkiran.
Sudah hampir lima belas menit X dan Mama berdiam diri di dalam mobil. Mama memandang kosong ke arah depan, tampak sedang sibuk di dalam pikirannya sendiri. Mungkin Mama sedang mencerna keadaan. X sibuk memainkan resleting tas, gelisah menunggu reaksi Mama.
X habis menghajar dua teman sekelasnya. Satu orang patah tulang hidung dan satunya lagi bonyok pipi kirinya. X sadar kalau dia lepas kendali, tapi mereka memang tidak seharusnya memancing amarah seorang jago silat seperti X. Salah besar mereka mengolok-olok X dengan sebutan yang sangat melukai area paling sensitif di dalam dirinya.
Kejadiannya berlangsung singkat, yakni pagi sebelum mata pelajaran pertama dimulai. Setelah guru datang melerai, mereka berdua dibawa ke ruang UKS sementara X digiring ke ruang BK. Orang tua mereka bertiga dipanggil ke sekolah.
Orang tua si hidung patah tidak terima rupa anaknya jadi tidak karuan karena bogem mentah X, lalu mengajak orang tua si pipi bonyok untuk membawa persoalan ke ranah hukum. Guru BK sibuk menjadi penengah dan mencoba menenangkan semua pihak. Mama dengan sabar meminta maaf setiap lima menit sekali. Kadang muka X ditunjuk-tunjuk sambil si pemilik jari berteriak entah ditujukan ke siapa.
X sendiri sibuk memikirkan nasibnya. Bukan masa depannya nanti kalau benar dia akan dituntut pidana, tapi hal yang lain: Apakah Mama akan percaya sebutan yang diolokkan kepadanya?
“Kakak, jawab Mama,” suara Mama memecah diam setelah hampir selamanya tidak ada bunyi selain berisiknya AC mobil, “betul?”. X tidak bisa mengelak. Mulai hari itu dunianya berubah.
Semasa kecil X suka bermain action figure superhero seperti kebanyakan anak-anak lain. Semula X pikir dia ingin menjadi seperti mereka: punya kekuatan super, diidolakan banyak orang, membela keadilan, dan hal heroik lainnya. Beranjak remaja X mulai sadar bahwa dia tidak hanya mengagumi kemampuan mereka, tapi juga tubuh mereka. Mimpi basah pertamanya adalah bersama Superman.
Ketika teman-teman X mulai beringas membicarakan organ tubuh yang mereka idamkan, X berpura-pura ikut membayangkan seperti mereka. Birahi adalah bahasa otodidak remaja dalam menerjemahkan penjelajahan diri, karena yang lebih tua tidak pernah mengajarkan caranya. Lalu makin hari para remaja tanggung ini makin sadar bahwa pihak seberang bisa diajak bercanda dan bermain, dan pada akhirnya lahirlah perasaan. X melihat satu per satu temannya mulai melabuhkan perasaan, bak kumbang yang hinggap di bunga. Proses hinggapnya akan menjadi tontonan kelas, atau bahkan angkatan, tergantung kepopuleran si kumbang dan si bunga. X juga kumbang, tapi sayangnya tidak pernah menemukan bunga. Sepertinya memang taman milik X tidak terisi bunga.
X baru tahu kalau dia bukan anomali alam–bahwa ada yang lain seperti dirinya–ketika dia sedang melihat-lihat komik di sebuah toko buku bekas. Ada sebuah komik Jepang yang seolah berbicara kepadanya. Sampulnya bergambar dua pria yang saling memeluk. Pada saat itulah X menemukan bahasa yang bisa menerjemahkan hal yang ia rasakan selama ini. Akhirnya menjadi sebuah rutinitas bagi X pada setiap Jumat, sepulangnya dari sanggar silat, untuk pergi ke toko tersebut untuk mencari komik-komik dengan bahasa serupa. Sampai suatu hari X lupa mengeluarkan komik yang ia beli Jumat sebelumnya dari tas. Akibatnya, Senin pagi dia tanpa sadar membawa komik tersebut ke sekolah. Hanya butuh keusilan dua badut kelas untuk mengubah kerapuhan seekor kumbang menjadi amukan seekor singa.
Sesampainya di rumah X langsung mengunci diri di kamar seharian. Pagi hari dia berangkat sekolah sebagai anak, siangnya ia pulang sebagai orang asing–meskipun memang ada bagian di dalam diri X yang tidak pernah bisa tersambung dengan orang lain. Sekarang bagian itu mendefinisikan diri X seutuhnya.
Papa dan Mama melihat X seperti tukang reparasi mencermati barang rusak. Papa, yang sering mendampingi X mengikuti kejuaraan pencak silat dan selalu bangga entah ia menang atau kalah, seperti mengundurkan diri dari kehidupan X. Mama yang selalu perhatian, sekarang tidak bisa memandang X tanpa terlihat seperti orang yang akan ditinggal mati kekasihnya. Mereka memutuskan akan memasukkan X ke pesantren. X merasa sangat mengecewakan mereka sehingga tidak punya pilihan selain menuruti perintah.
***
Pada awal masa kuliah, X mencoba mengikuti aturan main dalam mencinta. Dunia kampus ia anggap sebagai awalan baru. Tidak ada yang tahu ceritanya di sini. Kota baru, hidup baru. X ingin menghapus rasa bersalah yang selalu sengit bertanding dengan nalurinya selama ini.
X bertemu seseorang. Dia adalah bunga yang sangat indah. Untuknya, X mencoba menjadi kumbang sejati. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama. Seringnya mereka menonton film dan sesudahnya mendiskusikan film tersebut sambil makan. Si bunga suka sekali horor, dan akan menghubungkannya dengan segala teori dan konsep yang ia pelajari di kelas. Mereka selalu berdebat dan si bunga selalu menang. Si bunga berpendirian teguh dan tidak bisa dikekang. Seperti mawar, dia indah dan berduri. X sangat mengaguminya.
Seiring berjalannya hubungan mereka, X mulai menyadari bahwa rasa kagum X kepada si bunga telah tumbuh menjadi rasa sayang, tapi tidak pernah melahirkan cinta. Untuk mencinta, dua jiwa membutuhkan gairah yang mengikat mereka. Sekuat apapun X mencoba, entah mengapa X tetap tidak bisa menghadirkan rasa itu. Dengan berat hati X memutuskan untuk mengungkapkan kebenarannya kepada si bunga. Babak akhir X dan si bunga dimulai setelah matahari pamit dan baru selesai saat matahari mulai menyapa lagi.
“Aku tetep sayang sama kamu.”
“Iya, aku tahu.”
“Kita tetep temenan kan?”
“Kamu sahabat terbaikku,” sahut si bunga.
Subuh itu, untuk pertama kalinya X bisa bernafas di hadapan manusia lain. Setelah itu X berjanji untuk tidak membohongi orang lain lagi maupun dirinya sendiri. X juga tidak akan memanfaatkan perasaan seseorang untuk mencoba menyembuhkan dirinya. Tidak ada yang perlu disembuhkan, karena ini bukan penyakit, pikir X.
***
Beberapa jam setelah mengakhiri hubungan dengan si bunga, X pergi ke kedai kopi di dekat kampusnya. Hari itu X ada kelas pagi, ia butuh kafein sebanyak yang bisa ditampung tubuhnya. Double shot, eh kurang, harus triple shot. Tapi X tahu bukan espreso yang membuatnya segar sepanjang hari itu karena ketika X memesan kopinya, untuk pertama kalinya ia kesetrum.
Kulitnya coklat terbakar matahari. Tidak terlalu gosong, tapi cukup menegaskan pemiliknya suka kegiatan luar ruangan. Rambutnya rapi tertata dengan jejak sisir yang tegas oleh pomade. Suaranya tebal, menenangkan setiap telinga yang menangkap. Langkah kakinya sigap dan kokoh. Lalu matanya. X berani bersumpah demi Tuhan di atas sana dan Iblis di perut bumi bahwa si barista lebih indah daripada Clark Kent.
Hari-hari berikutnya X menjadi pelanggan harian di kedai kopi itu. Senin sampai Kamis dengan alasan ‘mau ngerjain tugas’, Jumat selesai kelas sampai tengah malam dengan alasan ‘melepas penat’ (biasanya ada konser akustikan di sana), dan Sabtu dan Minggu ‘nggak tau mau ngapain, yaudah ngopi aja’. Apa saja yang bisa dijadikan alasan, asal bisa kesetrum.
X suka sekali melihat si barista menyiapkan pesanan. Tangannya begitu lihai memainkan mesin kopi, dan terkadang lengannya terlihat memberontak terhadap baju yang ia kenakan. Meskipun X merasa tidak memiliki tempat untuk mengekspresikan perasaannya, setidaknya ia bisa mengagumi, lalu membawa rasa kagum itu ke kasurnya pada malam hari, atau siang (tergantung mood dan situasi) dan kadang di kamar mandi. Alangkah indahnya kalau bisa jadi mesin kopi itu, X membayangkan.
“Kamu nggak mau kenalan sama dia?” tanya si bunga, mengaburkan lamunan X.
“Nggak ah takut,” X menjawab, seraya kembali ke dunia nyata.
“Kalau aku amatin sih dia juga sering ngelirik kamu,” kata si bunga sambil melihat ke arah barista.
Dada X mendesir. Ia menatap si bunga seperti tidak percaya. Ia merasakan harapan setelah mendengar amatan sahabatnya, yang lima detik kemudian lenyap oleh ketakutan yang menyusul muncul. X teringat kekecewaan orang tuanya, pengucilan oleh teman-temannya, dalil-dalil agama yang ia terima di pesantren, dan bagaimana semua itu melahirkan rasa bersalah pada dirinya sendiri.
“Kamu nggak bisa terus-terusan jadi karakter figuran di hidupmu sendiri,” ucap si bunga menohok, solah tahu apa yang sedang X pikirkan dan mencoba merobohkan pikiran itu.
Sekarang di dalam dadanya sedang terjadi lomba tarik tambang. X memikirkan keputusannya berterus terang kepada si bunga, yang ia lihat sebagai keputusan paling berani dalam hidupnya. Ia bersyukur bisa diterima setelah mengutarakan kejujurannya dan bertanya-tanya apakah ia bisa diterima ketika berterus terang lagi. “Nggak tau ah,” jawab X setengah malas.
“Setelah ini kita lulus loh, nanti nyesel.”
Sekarang tambang itu mau putus.
***
Go big or go home, X mencoba menyemangati diri sendiri tepat sebelum melangkah ke dalam kedai kopi. Ia memakai baju terbaiknya, mengenakan parfum yang baru saja ia beli hari sebelumnya, serta telah mencukur rapi rambut wajahnya. Hari ini ia memutuskan untuk mencoba berani lagi.
Kring! Lonceng pintu berbunyi ketika X masuk ke dalam. Si barista menoleh lalu berkata, “Pagi, Kak, selamat datang,” disertai senyuman yang selama ini meneror X. X membalas dengan senyuman, tapi matanya melihat ke arah lain–sebuah refleks yang selalu ia lakukan selama ini untuk menutupi perasaan berbedar-debarnya.
X melihat ke sekeliling ruangan. Hanya ada dia dan si barista. Adrenalinnya meningkat ketika ia tahu kalau ini adalah saat yang tepat untuk berkenalan dengan si barista. Ia berjalan ke arah si barista, semakin dekat dan semakin gugup. Sesaat ia teringat ke masa tanding pencak silat karena sedang merasakan hawa yang sama.
“Halo, mau pesan apa, Kak?” si barista menyambut X di hadapannya.
Oh, tidak, ucap X dalam hati. Sekarang berhadapan, mata si barista menyapu wajahnya, raut mukanya, perilakunya, dan ia kewalahan mengantisipasi tatapan itu. Sekarang kegugupan menguasai penuh dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata. Mulutnya terlalu kering untuk menghasilkan suara, karena cairan tubuhnya sudah keluar semua jadi keringat.
X berdiam diri, matanya mengarah ke bawah menuju sepatunya karena tidak kuat kesetrum. Ia mencoba mengumpulkan kembali keberanian yang sebelumnya ia kenakan dengan gagah. Tapi gagal.
“Kak?”
X menunjuk menu yang ia pesan, tanpa suara dan tanpa memandang si barista.
“Ada lagi?” tanya si barista, matanya mencoba menangkap air muka X.
X menggelengkan kepala, pandangannya masih menghindari mata si barista. “Caffe latte aja ya, Kak,” ucap si barista seperti penerjemah, “baik nanti diantar.”. Tapi si barista merasa pesan itu tidak ditangkap oleh X karena ia masih berdiam diri di tempat.
X berdiri mematung, termenung. Ia menyadari bahwa yang menghambatnya selama ini bukan hanya mereka yang tidak mengerti perbedaan, tapi juga dirinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam pikirannya sendiri dan tidak bisa memberontak.
“Kak?” si barista mencoba berkomunikasi dengan X. “Bisa ditunggu di meja dulu, nanti diantar.”
“Oh iya, Mas, maaf,” ucap X, lalu mengambil nomor pesanan dan pergi mencari tempat duduk.
Di mejanya X melamun. Ia meratapi ketidakberdayaannya. Ternyata hidup dengan kejujuran itu susah, pikir X. Lalu ia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. Kemudian X kembali melamun sembari menatap tembok kosong.
X tidak tahu seberapa lama ia tenggelam dalam pikirannya ketika ia dikagetkan oleh suara gelas dan piring yang membentur permukaan meja. Ia melihat apa yang ada di depannya. Segelas caffe latte dingin dan sepiring cinnamon roll.
“Eh, Mas, saya nggak pesen ini tadi,” ucap X kepada si barista sambil menunjuk piring.
“Oh itu gratis,” jawab si barista. “Tadi saya lihat kayaknya Kakak lagi sedih,” ia meneruskan, “jadi biar semangat lagi.”
“Oh…” X mencoba mengeluarkan kata-kata tapi masih mulutnya masih kering. Matanya mengarah ke segala penjuru, seolah mengirim sinyal bahwa ia sedang berusaha susah payah untuk merangkai jawaban.
Si barista menangkap hal itu dan mencoba memahami perjuangan X. Ia duduk di hadapan X, mencoba menunggu respons dari X. “Kakak nggak apa-apa?” ia bertanya.
Dada X berdegup kencang mendapati orang yang ia impikan selama ini duduk begitu dekat dengan dirinya. Apalagi dengan tatapan yang memburu jawaban, yang semakin membuat X salah tingkah dan tidak bisa berkonsentrasi.
“Mas udah punya pacar belum?” tanya X tiba-tiba. Ia tidak menyangka pertanyaan itu baru saja keluar dari mulutnya. Darahnya berhenti mengalir, ia takut setengah mati.
“Belum,” jawab si barista. “Kenapa, Kak?”
“Oh enggak, maaf Mas tadi–“
“Mau kenalan?” ucap si barista memotong X.
X melongo mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh si barista. Ia memandang si barista, yang tampak sedang menanti jawaban X dengan senyuman. X tidak tahu harus bagaimana.
Si barista mengulurkan tangan sambil berkata, “Firdaus.”
X menjabat tangan Firdaus sambil menjawab, “Rizky.”
Firdaus, nama indah untuk orang yang indah, Rizky membatin. Entah mengapa rasa takutnya sekarang hilang. Ia dengan begitu leluasa menyapu bersih penampakan Firdaus dengan matanya.
“Nice to meet you, Rizky,” kata Firdaus dengan senyuman manis ke arah Rizky.
“Nice to meet you too, Firdaus,” balas Rizky.
Rizky dan Firdaus saling berpandangan, tanpa suara, seolah mata mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu lagi dan ingin melepas rindu.
Penulis : Adeka