Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi…
Qadarullah Wa Ma Sya’a Fa’al… semoga kita terus dilindungi oleh Allah Ta’ala dan terhindar dari perbuatan zalim seperti melakukan kekerasan terhadap orang lain. Tentang kekerasan, apalagi kekerasan seksual tuh memang tricky. Aku lagi belajar menjadi pendamping korban kekerasan seksual, ya tapi belum sampe yang bener-bener membantu di tingkat hukum. Mulai dari yang aku bisa dulu, seperti mendengarkan cerita korban atau teman terdekat yang mungkin percaya sama aku sehingga mau bercerita tentang masalahnya. Ternyata menjadi pendamping gak mudah, meskipun mendengarkan cerita lalu kesannya ‘ah cuma mendengarkan’, tapi sulit juga. Sehubungan dengan aku ingin menjadi pendamping, maka aku belajar lagi nih tentang jenis-jenis kekerasan seksual, terutama memaknai setiap jenis kekerasan sehingga aku bisa paham ketika ada ukhti-ukhti atau akhi yang bercerita. Aku coba #KupasTuntas yaa….
Komnas Perempuan memiliki fakta kejadian yang didokumentasikan dan dikembangkan dari berbagai peraturan perundang-undangan atau dokumen internasional. Ada 15 (lima belas) jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam berbagai konteks, seperti perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi (ancaman atau percobaan perkosaan), prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi perempuan lewat aturan, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, dan pemaksaan sterilisasi atau kontrasepsi.
Nah, aku juga baru paham nih kalo suatu perbuatan untuk dapat ditetapkan sebagai tindak pidana harus memenuhi asas legalitas seperti yang dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isinya begini, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Nah, berangkat dari itu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) merumuskan 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual sebagai tindak pidana. Jenis-jenis itu yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan perlacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Dari 15 (lima belas) jenis kekerasan seksual yang teridentifikasi namun hanya 9 (sembilan) jenis yang diatur di dalam RUU P-KS. Awalnya aku juga mengernyitkan dahi dan bertanya dalam hati, “Mengapa demikian?”. Ternyata, karena 15 (lima belas) jenis itu mempunyai unsur subjektif dan objektif seperti yang disyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi hukum pidana. Makanya ada jenis kekerasan yang gak masuk dalam rancangan aturan pidana seperti praktik tradisi dan kebijakan, misalnya sunat perempuan dan norma-norma gender yang dilanggengkan hingga saat ini. Gak masuknya beberapa jenis kekerasan yang teridentifikasi di dalam rancangan aturan, bukan berarti tindakan tersebut tetap diadakan, hanya saja pendekatannya berbeda melalui pendidikan dan penyebarluasan informasi untuk mengubah cara pandang.
Norma gender? Itu gimana ya? Nah, tulisanku ini hasil dari ngobrol-ngobrol juga sama Ibnu, selain hasil baca-baca info di sumber Komnas Perempuan. Waktu itu bahasan kita seputar jenis-jenis kekerasan seksual dan mengapa kekerasan itu terjadi. Aku juga telah menuliskan tentang bagaimana RUU P-KS gak hanya berpihak pada korban perempuan, meskipun banyak korban kekerasan seksual terjadi pada perempuan di #CeritaNisa yang sebelumnya. Kalo kata Ibnu, memang benar kalo banyak korban kekerasan seksual adalah perempuan dan gak sedikit laki-laki, dan banyak laki-laki juga menjadi korban. Hal itu berakar dari adanya norma, standar, atau ekspektasi sosial yang gak terlihat kemudian dibentuk lalu diberikan dan diterima oleh masyarakat luas. Ada perasaan gak nyaman ketika gak melakukan norma tersebut.
Nah, hal itu berlaku pada norma gender. Tapi standar tersebut dihubungkan dengan jenis kelamin dan mengatur perilaku, perasaan, dan penampilan. Misalnya, ini pasti dan masih sering didengar oleh siapapun, “laki-laki gak boleh nangis”, “laki-laki harus lebih kuat dari perempuan”, “pekerjaan laki-laki itu harusnya lebih berat dari yang dilakukan perempuan”, “laki-laki kok main boneka”, “laki-laki kok gondrong”, “yang bertato itu laki-laki, bukan perempuan”, “laki-laki kok pilih warna pink, itu warna cewe”, “laki-laki kemayu banget, gak manly”, “laki-laki kok pake rok”, “dalam suatu hubungan, laki-laki yang mengatur”, dan masih banyak lagi. Ada istilah yang baru aku dengar dari Ibnu ketika dia bercerita, ialah toxic masculinity.
Ibnu juga bercerita teori peran sex yang dikembangkan oleh Robert Brannon dan Samuel Juni (1984). Katanya, dalam norma tradisional maskulin Brannon Masculinity Scale (BMS), terdapat empat tema dari apa yang laki-laki inginkan, bagaimana laki-laki seharusnya, dan kesuksesan laki-laki dalam hal bersikap. Seperti misalnya laki-laki adalah tulang punggung, laki-laki harus tegas dan tinggi atau bisa disebut dengan “male machine”, laki-laki gak menunjukan perasaan mereka (sedih terutama), dan laki-laki harus berani, agresif, dan terlibat dalam kekerasan kalo perlu. Jadi, menurut BMS kalo laki-laki adalah korban dari norma gender yang memicu efek negatif untuk laki-laki itu sendiri. Makanya, gak heran kalo masih sering banget laki-laki cenderung menunjukan kekuasaannya atas tubuh seseorang.
Ibnu melanjutkan kalo ada kekerasan yang secara gak sadar dibentuk dan diberikan pada saat mendidik laki-laki serta perempuan. Misalnya dari bagaimana memilih warna, pakaian, mengelola perasaan, dan sebagainya. Aku jadi paham dan dapat melihat lebih luas tentang terjadinya kekerasan seksual. Aku juga semakin yakin kalo pendidikan publik itu penting di samping harus adanya payung hukum untuk tindakan kekerasan seksual. Setelah ngobrol-ngobrol sama Ibnu, kami bersepakat untuk terus bersama-sama melakukan pendidikan publik ke orang-orang terdekat kita. Tentunya, aku dan Ibnu juga akan terus belajar serta mengawal #SahkanRUUPKS melalui kampanye-kampanye serta aksi. Di masa pandemi seperti ini, kampanye online di media sosial menjadi salah satu cara selain ikut Aksi Selasaan Online yang diinisiasi oleh GERAK Perempuan. Ukhti dan Akhi juga ikut, yuk! Daftar di sini ya!
Sumber:
- Komnas Perempuan, “Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” komnasperempuan.go.id, diakses pada 26 Sept di https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Isu%20Prioritas%20Kekerasan%20Seksual/8.RUU%20KS-PENGHAPUSAN%20KS-BAG-8.pdf
- Fairuz Nadia, “Toxic Masculinity,” yayasanpulih.org, diakses pada 27 Sept 2020 di http://yayasanpulih.org/2020/02/toxic-masculinity/