Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi…
11 Oktober merupakan peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia. Hari tersebut diperingati setiap tahunnya untuk mengakui hak-hak dan keunikan dari setiap anak perempuan saat menghadapi dunia. Tentu saja Indonesia turut memperingatinya, karena bagian dari negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mungkin, hari tersebut menjadi waktu untuk semua orang merayakan dengan suka cita, tapi aku gak bisa gitu deh kayanya. Gimana mau ikut memperingati dengan suka cita kalo dalam 10 tahun terakhir hanya ada penurunan kecil untuk perkawinan anak di Indonesia. Aku #KupasTuntas lebih lanjut ya. Kalo menurut analisis data perkawinan anak edisi 2020 dari UNICEF yang bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia bahwa penurunan tersebut hanya 3,5 poin persen.
Dari data tersebut juga mengatakan bahwa 11,21% perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum umurnya 18 tahun. Gimana aku gak merasa sedih? Masih menyambung hasil dari analisis UNICEF bahwa Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara merupakan provinsi dengan perkawinan anak tertinggi dari 20 provinsi lainnya. Terdapat lebih dari 1 juta perempuan yang menikah pada usia anak di sana dan temuan dari (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Susenas serta studi literatur juga memperlihatkan bahwa anak perempuan sangat rentan untuk dinikahkan lebih cepat. Di samping itu, ada faktor pendukung juga, misalnya si anak tinggal di keluarga miskin, di pedesaan, dan hanya memiliki pendidikan rendah.
Tentu aku gak setuju dengan perkawinan paksa pada anak karena akan berimbas pada kesehatan anak itu sendiri. Apalagi kalo untuk anak perempuan, karena ada peran reproduksi di dalam tubuhnya. Jika perkawinan anak dipaksakan maka akan terjadi beberapa risiko terutama untuk perempuannya. Seperti misalnya rentan terkena kanker leher rahim, ini salah satunya aja ya. Hal tersebut dikarenakan organ reproduksi perempuan usia 12-20 tahun sedang dalam masa perkembangan. Nah, perlu diketahui juga nih kalo di masa perkembangan tubuh perempuan, ada organ lain yang mendukung organ reproduksi seperti indung telur, tuba falopi, rahim, vagina, dan payudara.
Menurutku lagi, sudah pasti akan banyak faktor yang membuat si anak menyetujui atau terpaksa melakukan perkawinan. Tentu saja ada peran orang tua atau wali yang merayu seperti yang dialami Citra di Sumba. Selain faktor orang tua, faktor akses pendidikan kespro di daerah juga gak sebanyak di daerah perkotaan. Hasil studi yang dibuat oleh Kak Evi Rosfiantika dari Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa, tentu saja perempuan di pedesaan membutuhkan info tentang kespro. Namun, kebutuhan itu gak berbanding lurus dengan akses dan pelayanan di daerah setempat yaitu Kab. Garut. Para perempuan di sana hanya tahu seputar kesehatan secara klinis yang meliputi kehamilan dan persalinan. Terlebih lagi, semua informasi tersebut dicari ketika butuh, yang ditanyakan ke orang terdekat terlebih dulu, misalnya orang tua lalu ke tenaga kesehatan di puskesmas terdekat jika sudah dalam keadaan darurat.
Pada hasil penelitian yang lain dilakukan oleh Kak Sipin Putra dari Universitas Indonesia bilang kalo perempuan di Pedesaan Alor, NTT sulit untuk mendapatkan pendidikan kespro. Katanya ada peran kebijakan dari pemerintahan pusat sehingga akses dan layanan informasi kespro gak tersampaikan secara menyeluruh kepada masyarakat di daerah setempat, khususnya perempuan. Kebijakan pemerintah terkait kesehatan reproduksi fokus pada usia subur yang akan menikah saja atau istilahnya calon pengantin (catin). Lebih lanjut, informan dalam studi tersebut juga mengatakan bahwa ranah kerja Kemenkes adalah mendeteksi dan mengobati. Adapun salah satu upayanya dengan meningkatkan kesadaran ibu-ibu di tingkat desa tentang kekerasan pada perempuan dan anak. Padahal pendidikan kespro gak hanya tentang kekerasan dan perlu peran laki-laki untuk memahaminya juga.
Lanjut nih bahasan perkawinan paksa terhadap anak. Selain risiko kesehatan, perkawinan paksa terhadap anak juga dapat meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan. Pada tahun 2018-2019, AKI di Indonesia mencapai 30% lebih tinggi daripada Negara Malaysia. Menurut Ibu Prof. Meiwita Budiharsana bahwa AKI merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti yang dikutip oleh regional.kompas.com saat menghadiri Konsorsium Juara Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Ibu Meiwita menjelaskan lebih lanjut bahwa program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi dapat berperan dalam menurunkan AKI dan anak di Indonesia.
Ngeri-ngeri sedap ya… huft! Aku jadi teringat kalo pemaksaan perkawinan itu salah satu dari 9 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Rancangan Undang-Undangan Pengesahan Kekerasan Seksual (RUU PK-S). Tentu saja rancangan peraturan tersebut berlaku untuk semua orang dan usia. Secara spesifik, RUU P-KS akan menyediakan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik dan psikologis, penyediaan tempat tinggal layak dan aman, pendampingan hukum (apabila korban meminta untuk perceraian atau menghukum para pelaku, dsb), dan pemberdayaan ekonomi untuk korban dan keluarga korban setelah proses peradilan. Dalam hal pendampingan juga melibatkan aparat penegak hukum untuk merujuk korban dan saksi ke lembaga layanan pendampingan sesuai kebutuhan. Nah, lengkap ya RUU P-KS ini.
Kalo bicara soal perkawinan paksa terhadap anak ini biasanya dihubungkan dengan tradisi-tradisi di setiap daerah. Memang perlu melestarikan tradisi daerah Indonesia yang sangat beragam ini, namun tentu juga gak boleh lupa bahwa ada hak dari setiap manusia untuk memilih. Aku jadi teringat dengan salah satu penelitian dari Kak Rhidian Yasminta Wasaraka pada Suku Korowai daerah Papua. Kak Dhian gak hanya meneliti, namun juga tinggal di sana untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat Korowai. Ada hal menarik yang ia temukan yaitu sistem kepemimpinan pada Suku Korowai yang gak mengenal kepala suku maupun raja.
Menurut hasil penelitian dari Kak Dhian yang tertuang dalam Perempuan Perkasa bahwa Suku Korowai menganut nilai-nilai bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama. Sehingga perempuan dan laki-laki dianggap memiliki kedudukan yang sama. Yang tak kalah menarik adalah, Suku Korowai memberikan otonomi perempuan atas keputusan untuk menikah, hak dan fungsi reproduksinya, bahkan hak atas kepemilikan yang dapat menjadi penanda bahwa penerapan nilai kesetaraan terjadi antara perempuan dan laki-laki.
Jika aku dapat memberikan kesimpulan sedikit bahwa peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia dapat menjadi momen refleksi tentang hak setiap anak. Aku pribadi merefleksikan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memilih, mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi di mana pun daerahnya, gak memaksakan kehendak pribadi atas hidup orang lain –terlebih lagi anak sendiri, dan melawan segala jenis kekerasan seksual seperti perkawinan paksa terhadap anak. Dukung hak-hak anak dan perempuan untuk terlepas dari kekerasan seksual dengan memahami isi RUU P-KS di sini.
Sumber:
Halo Kawan #GengBeda! Ketemu lagi dengan Sesa dan Pedro. Kami ingin ngobrol bareng kamu, nih,…
Jumat malam Gema, Sesa, Pedro, Nisa dan Ibnu janjian virtual meeting seperti wiken-wiken sebelumnya. #GengBeda…
Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Nisa pusing banget, nih. Data dan fakta tidak cukup…
Halo kawan #GengBeda! Ketemu lagi bareng Sesa di musim Cancer ini. Katanya sih goncangan hidup…
Assalamualaikum ukhti dan akhi! Balik lagi bersama Nisa nih, semoga ngga bosen yah sama Cerita…
Assalamualaikum ukhti dan akhi kawan #GengBeda. Balik lagi nih sama Nisa si remaja masjid yang…