Siapa sih yang tidak tahu sosok Raden Ajeng Kartini. Semua pasti kenal dengan salah satu tokoh emansipasi perempuan ini. Tepat hari ini, 21 April 1879 Kartini lahir di Jepara. Di masa dia hidup, perempuan hanya bisa sekolah sampai umur 12 tahun. Selanjutnya Kartini harus mengalami masa pingitan di rumah menunggu ada laki-laki yang meminangnya. Tentang pingitan ini Kartini pernah menulis “… penjara adalah rumah besar dengan halaman luas di sekelilingnya. Tetapi dilingkari dengan dinding yang tinggi, yang mengurung saya…”
Kartini melihat ketidakadilan terhadap perempuan di sekelilingnya. Kakak laki-lakinya boleh sekolah tinggi sementara ia dilarang karena seorang perempuan. Karena merasa diperlakukan berbeda itulah Kartini memperjuangkan persamaan hak untuk kaumnya, kaum perempuan.
Sebelumnya #Gengbeda tau nggak sih emansipasi itu apa? Menurut KBBI emansipasi itu persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Lebih lengkapnya, emansipasi itu ketika kita memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekelompok orang dimana sebelumnya hak orang atau sekelompok orang itu dirampas atau diabaikan. Emansipasi perempuan berarti memberikan perempuan haknya sebagai manusia merdeka yang sama dengan laki-laki.
Emansipasi Perempuan dalam Islam
#Gengbeda sadar nggak bahwa di masyarakat konsep emansipasi perempuan masih menjadi perdebatan? Ada yang setuju dan ada yang masih menolak loh. Nah, karena sebentar kita masuk ke bulan suci Ramadhan, Gema akan coba berbagi tentang emansipasi ini dalam perspektif Islam.
Di masyarakat muslim memang ada yang meyakini bahwa laki-laki derajatnya lebih tinggi daripada perempuan. Ini karena narasi dan teks-teks Islam sering diterjemahkan oleh kelompok yang masih memegang teguh konsep patriarki. Hal ini sempat dibahas dalam Qiraah Mubaadalah, jika keyakinan semacam itu berakar pada mitos penciptaan ketika Adam dan Hawa. Dipercayai bahwa Hawa (representasi perempuan) diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Adam (representasi laki-laki). Keyakinan ini membuat anggapan bahwa laki-laki adalah sumber dan perempuan adalah cabang atau bagian dari laki-laki. Karena keyakinan ini terus menerus diproduksi maka seolah-olah sudah menjadi kebenaran mutlak. Pada akhirnya sebagian besar kelompok Islam menganggap bahwa kodrat perempuan ada di bawah laki-laki.
Emang benar perempuan diciptakan dari tulang rusuk? Geng, di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, loh. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, menganalisis ayat-ayat dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia. Menurutnya ada 3 kelompok ayat yang bicara soal penciptaan manusia. Pertama, kelompok ayat yang mengatakan bahwa penciptaan segala sesuatu termasuk manusia, tercipta dari unsur air. Kelompok Ayat kedua, mengatakan bahwa manusia termasuk laki-laki dan perempuan mengandung unsur tanah. Kelompok ayat ketiga, menyatakan bahwa penciptaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tercipta dari proses reproduksi biologis. Penelitian Imam besar Istiqlal ini jelas-jelas menolak tuh pendapat yang mengatakan bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki.
Jadi sudah jelas geng Al-Quran menolak pendapat bahwa perempuan bagian dari laki-laki. Justru Al-Quran ini menegaskan bahwa pada saat diciptakan semua manusia itu berasal dari unsur dan proses yang sama. Karena itu tidak ada perbedaan ras, suku, dan jenis kelamin. Semuanya setara dan tidak ada yang menjadi bagian dari sesuatu yang lain.
Bagaimana Emansipasi di Masa Kini?
Nah, bagaimana sih kondisi emansipasi yang diperjuangkan Kartini di masa kini? Saat ini pandangan kodrat perempuan di bawah laki-laki yang memaksa perempuan menjadi warga kelas dua nyatanya masih ada. Nilai patriarki mendominasi ruang publik di mana laki-laki diberi porsi yang lebih besar untuk berekspresi sementara perempuan didorong ke ruang-ruang domestik. Kehadiran perempuan dengan segala ekspresinya di ruang publik dianggap sesuatu yang buruk dan membawa dampak negatif bagi masyarakat.
Salah satu ungkapan yang tidak asing ditelinga adalah “ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujungnya ngurusin rumah sama anak”. Ungkapan ini pada akhirnya membatasi perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi, karena selalu diposisikan sebagai orang yang mengisi ruang domestik. Atau pernah juga salah satu publik figur yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, tetapi memilih menjadi ibu rumah tangga. Apa reaksinya? “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, kalau akhirnya cuma jadi ibu rumah tangga doang”. Kembali, perempuan menjadi pihak yang disalahkan atas setiap pilihan yang dia buat. Padahal latar belakang pendidikan dengan pilihan untuk menjadi ibu yang bekerja atau ibu rumah tangga sama sekali tidak berkaitan. Semua pilihan yang berhak dipilih oleh perempuan, selama dia tidak dipaksa oleh orang lain ketika memilih sesuatu bagi dirinya.
Hal ini berbeda bagi laki-laki. Laki-laki selalu memiliki kebebasan lebih untuk menempuh pendidikan setinggi yang dia mau. Kemudian, dia juga bebas untuk memilih bidang apa yang akan dia geluti untuk karirnya nanti. Tidak akan ada stigma yang melekat padanya meski dia sibuk dengan pekerjaannya. Jika ada sesuatu yang buruk dalam rumah tangganya, maka kembali yang disalahkan adalah pihak perempuan yang dianggap tidak baik dalam mengurus rumah tangga. Padahal, tugas dalam mengurus rumah tangga seharusnya dijalani oleh laki-laki dan perempuan secara seimbang.
Selain itu, dalam hal lain yang lebih serius misalnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Kecenderungan masyarakat untuk lebih dulu menghakimi perempuan masih tinggi. Mulai dari disalahkan karena cara berpakaian yang dianggap menggoda. Atau disalahkan karena keluar rumah di malam hari. Ini terjadi karena cara berpikir masyarakat kita yang masih didominasi oleh konsep patriarki. Lebih parahnya, masyarakat sendiri membuat korban menjadi tertutup dan enggan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya karena stigma buruk yang akan melekat pada dirinya jika bersuara.
Sementara semakin banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, namun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) masih belum juga disahkan. Ini karena di dalam DPR sendiri dominasi kelompok laki-laki maupun perempuan yang masih terkurung cara pandang patriarki masih ada. Di antara mereka masih banyak yang menolak isi dari RUU-PKS karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Padahal jika dilihat dan dicermati, agama khususnya Islam juga mendukung adanya kesetaraan bagi perempuan dalam segala hal, termasuk dalam perlindungan dari tindakan kekerasan.
Jadi, kalau masih ada yang ngeyel dan bilang RUU-PKS itu nggak sesuai dengan ajaran agama, sepertinya mereka perlu untuk membaca teks dan narasi keagamaan lebih dalam lagi dan tidak tekstual. Karena Gema yakin, nggak ada agama yang membenarkan perilaku kekerasan khususnya kekerasan seksual kepada umatnya. Setiap agama pasti mengajarkan cinta, kasih, dan kebaikan bagi sesama.
Sumber:
“Kamar Pingit Saksi Bisu Penderitaan Batin Kartini” diakses melalui https://www.tagar.id/kamar-pingit-saksi-bisu-penderitaan-batin-kartini
“Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan” diakses melalui
https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/13/120000369/biografi-ra-kartini-pejuang-emansipasi-perempuan?page=all.
Faqihuddin Abdul Kodir. 2019. “Qiraah Mubaadalah”, diterbitkan oleh IRCiSoD, Yogyakarta.