Assalamualaikum Akhi, Ukthi…
Pada tulisanku sebelumnya, sudah jelas kalo kita harus #tolakRKHUPngawur yang dibahas oleh DPR dan tim pemerintah. Perlu diketahui kalo pasal-pasal yang aku tuliskan kemarin, isinya menyangkut kehidupan kita semua. Sekarang, aku akan mengulas terkait sejarah pembahasan RKHUP. Agar kita semakin mantap untuk #tolakRKHUPngawur. Akhi dan Ukhti, pembahasan RKHUP ini telah dilaksanakan sejak puluhan tahun silam. Kalo merujuk dari referensi yang aku baca di hukumonline.com, ini dibahas sejak Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada tahun 1963. Memang waktu itu gak hanya tentang RKUHP, tetapi juga Rancangan KUHAP, KUHPerdata, KUHDagang. Inginnya, seminar itu menjadi awal sejarah pembaruan KUHP di Indonesia yang kemudian dibahas oleh DPR dan tim pemerintah.
Di tahun 2017, sebagian isi dari RKUHP mengacu pada hasil seminar di tahun 1963 dan telah ditambahkan dengan delik-delik kejahatan yang mengganggu keamanan negara, delik ekonomi, delik hukum adat, delik kesusilaan, delik korupsi, delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah, penghinaan kepada kepala negara (Presiden), perbuatan yang merendahkan martabat dan kehormatan lembaga peradilan, dan segala bentuk penghinaan. Bisa diperhatikan ya, kalo ada delik-delik yang ditambahkan dan mulai ngawur sejak 1963 ke 2017. Dari penambahan delik tersebut, kenyataannya RKUHP gak juga dibahas oleh tim pemerintah. Mudahnya, bila menghitung pergantian masa kepemimpinan anggota-anggota pemerintahan, maka sudah tujuh presiden berganti dan 13 kali menteri berganti. Bahkan kalo menurut Prof. Barda Nawawi Arief yang merupakan Guru Besar Universitas Diponegoro sudah ada 17 orang tim penyusun telah wafat. Padahal, tim penyusun telah memberikan draft RKUHP sebagai dasar pemikiran para tim penyusun ke DPR sejak 2013 dan 2015.
Rencananya draf RKUHP akan rampung pada akhir tahun 2013 setelah pembahasan oleh tim Panitia Kerja (Panja) DPR dan tim pemerintah dengan kontribusi masukan dari masyarakat. Kenyataannya lagi nih, sampai berakhirnya masa kerja DPR pada 2009-2014 tak juga kunjung selesai. Pada 5 Juni 2015, Presiden Jokowi mengeluarkan surat yang menyatakan kalo pemerintah harus siap membahas RKUHP. Saat itu disambut oleh pemerintah dan DPR yang sepakat akan merampungkannya selama 2 tahun yang berakhir pada 2017. Target pembentukan UU pada akhir Desember 2017 kembali mundur, jadwal Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Hukum dan HAM juga gak terlaksana, namun Panja RKUHP tetap yakin akan merampungkan dan mengesahkan RKUHP pada periode 2014-2019. Aku cukup tercengang sekaligus mengapresiasi usaha Panja dan tim pemerintah dalam pembahasan RKUHP meski targetnya mundur. Pasalnya dalam setiap buku ada ratusan pasal yang dibahas dan kemudian harus adanya proses dengar pendapat dengan masyarakat juga, lalu draf pasal tersebut diputuskan untuk disepakati atau ditunda pembahasannya. Hingga waktu berlalu, banyak pembahasan pasal yang disepakati dan tertunda hingga Desember 2017. Tadinya nih, RKHUP menjadi RUU (Program Legislasi Nasional) Prolegnas Prioritas 2018, tapi kalian ingatkan kalo 2019 adalah tahun Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak? Jadinya tertunda lagi deh sampe 2019 dan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Voila….sampai rampunglah pembahasan RKHUP pada 14-15 September 2019 yang memicu aksi massa. Ya, memang gak mudah sih ya akhi dan ukhti karena menyangkut kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi, kalo masyarakat sudah beraksi berarti ada yang mengadi-ngadi nih…
Penyelesaian RKUHP yang dilakukan pemerintah dan DPR pada September 2019 lalu menghasilkan pasal-pasal bermasalah sehingga menggugah hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia turun ke jalan di berbagai daerah. Aksi massa pada akhir September 2019 lalu mengangkat seruan #tolakRKUHPngawur #semuabisakena dan terciptanya 7+1 tuntutan Reformasi Dikorupsi. Seperti ini bunyinya:
- a. Cabut dan kaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU SDA.
b. Terbitkan Perppu KPK
c. Sahkan RUU PKS dan PRT - Batalkan Pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR
- Tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil
- Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera, serta membuka akses jurnalis di tanah Papua
- Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis
- Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya
- Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera
(+1) Pemerintah harus bertanggung jawab atas korban luka dan meninggal terhadap massa aksi pada tanggal 23-30 September 2019 dan aktivis pro demokrasi yang dikriminalisasi dengan membentuk tim penyelidikan independen di bawah naungan Komnas HAM.
Aku dan anggota BEM di kampus sangat mendukung tim Panja dan tim pemerintah untuk membahas semua pasal sampai menjadi UU dengan isi yang seadil-adilnya, tapi kalo ada yang gak sesuai dengan kemanusiaan ya kita #KupasTuntas bersama rakyat sampai selesai. Seperti misalnya koruptor diberikan hukuman yang setimpal dengan cara gak memanjakannya melainkan dimiskinkan dan penjara seumur hidup, atau gak perlu adanya draf pasal penghinaan presiden –kan pasal tersebut sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 karena gak sesuai dengan prinsip demokrasi, atau menghapuskan pasal 414 yang mengatur informasi alat pencegah kehamilan a.k.a kontrasepsi –kan gak sesuai dengan era keterbukaan informasi, atau menghapus pasal-pasal yang memberikan hukuman kepada perempuan korban perkosaan yang ingin menggugurkan janinnya seperti yang diatur pada pasal 251, 415, 469, dan 470, karena kondisi mental korban lebih penting untuk diperhatikan, atau soal pasal zina dan hidup berdampingan tanpa ikatan pernikahan, aku rasa itu gak perlu deh. Semua orang berhak bahagia dengan hidup bersama tanpa paksaan dan memandang jenis kelaminnya. Titik.
Meski hari ini sudah banyak UU yang menjadi dasar hukum dari setiap pelanggaran, namun seringkali si pelanggar gak diberikan hukuman yang adil. Mungkin para pemberi kebijakan gak sengaja keliru atas pertimbangan hukumannya.
Sumber:
- Reformasikuhp.org
- Hukumonline.com
- Tirto.id