Halo kawan #GengBeda! Masih #dirumahaja kan ya, semuanya? Semangat!
Kali ini Pedro datang untuk membawa cerita tentang consent yang sudah pernah diceritakan di sini nih. Namun kali ini, Pedro coba menambahkan ilustrasi yang dibuat oleh kawan-kawan di Pamflet yang Pedro yakin kawan #GengBeda dapat pahami dengan mudah.
Jadi, buat kawan #GengBeda sudah sering mendengar kata consent belum? Kalau sudah, kalian paham enggak sih maksudnya consent itu apa? Ini bukan kependekan dari konsentrasi ya hihi. Consent sendiri jadi syarat dalam setiap hubungan atau keterlibatan seseorang dalam satu hal. Nah, kalau enggak ada consent nih bisa dibilang hubungan atau keterlibatan seseorang itu justru terjadi secara sewenang-wenang.
Consent itu apa sih?
Secara sederhana nih, consent dimaknai sebagai izin atau “per-se-tu-ju-an”. Sebenarnya consent ini untuk menunjukan jika setiap orang memiliki hak, kebebasan, dan kekuasaan penuh atas dirinya. Ini merupakan bentuk penghargaan atas setiap orang atas dirinya sendiri. Nah, mudahnya consent ini diekspresikan lewat kata “iya”. Tapi nih, “iya” bukan sekadar iya. Orang yang bilang “iya” sebagai izin atau persetujuan ini harus dalam kondisi sadar, bebas dan secara sukarela. Sadar ini tidak dalam keadaan mabuk, di bawah pengaruh alkohol, atau pingsan. Kemudian bebas dan sukarela artinya tidak dijebak, dibujuk, ditipu, dipaksa, ditekan atau diintimidasi.
Nah, selain itu sebenarnya orang yang bisa memberikan consent usianya harus 18 tahun ke atas. Sementara untuk yang di bawah 18 tahun consent atas dirinya diberikan oleh orang tuanya. Ini karena orang yang usianya di bawah 18 tahun dianggap belum tahu dan sadar soal benar atau salah dari satu hal. Jadi, izin atau persetujuan yang diberikan oleh kawan #GengBeda yang usianya di bawah 18 tahun itu sebetulnya bukan consent.
Kemudian consent ini hanya berlaku di satu waktu. Di lain waktu, saat kita ingin melibatkan seseorang untuk satu hal yang sama maka butuh diminta persetujuan kembali. Jadi jangan sampai kita mengira karena dulu orang tersebut pernah member consent maka di lain waktu dia kembali setuju. Nah, consent itu juga terbatas atas satu hal. Meskipun dalam kondisi sebenarnya keterlibatannya terdiri atas beberapa hal, bukan berarti satu persetujuan atas satu hal itu mewakili persetujuan hal selanjutnya.
Selanjutnya consent itu bisa ditarik kapan saja oleh orang yang memberikannya. Nah, maksudnya bisa jadi di awal orang yang terlibat memberikan persetujuan atau izin. Tetapi, saat dia merasa di tengah waktu dia ingin berhenti terlibat, maka dia bisa bebas dan punya hak untuk menarik persetujuannya.
Diam itu bukan “iya”
Lalu bagaimana dong dengan “diam”? Bukannya ada ungkapan “diam itu emas” atau “diam berarti mau”. Bahkan dalam teori perundang-undangan nih, sikap diam Presiden selama 30 hari setelah persetujuan bersama sebuah RUU dimaknai kalau Presiden setuju dan RUU itu dianggap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Padahal Presiden kan diam saja, siapa tahu dia masih ragu soal isinya. Kok main sah-sahkan jadi undang-undang saja sih. Hehe. Tapi itu secara hukum memang begitu aturannya.
Nah, dalam teori mengenai consent justru berlaku sebaliknya. Makna “diam itu emas” atau “diam berarti mau” tidak berlaku. Sikap diam harus dilihat sebagai ekspresi bingung, ragu, takut, atau cemas. Ini artinya seseorang dalam kondisi “diam” tidak memiliki kesadaran dan kebebasan untuk memberikan persetujuan atau izin atas keterlibatan mereka dalam hal tertentu. Jadi jangan pernah beranggapan jika diam artinya iya.
Ilustrasi sederhana soal consent pernah dibahas oleh kawan-kawan Pamflet.
“…Anggap saja kamu adalah seorang penjual bakso. Tentu kita cukup tahu bahwa ada setidaknya dua jenis bakso yang beredar di negara ini, bakso urat dan bakso telur. Ada juga bakso dengan isi-isi kekinian yang hype-nya sebatas maksimal satu tahun, kadang kurang. Katakanlah bakso isi keju, isi cabe rawit, brokoli, atau apalah. Muncul sangat populer, itu pun kalau harganya tidak terlalu mencekik. Tapi mari kita kembalikan fokus kita pada kisah yang saya coba contohkan. Sebagai seorang penjual bakso tentu kamu tidak langsung menyodorkan salah satu jenis bakso pada pelanggan kamu. Belum tentu dia suka bakso urat jika kamu berniat menyediakan bakso urat buat dia. Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak suka bakso urat? Sederhana. Tanya dulu. Apa yang diinginkan pelanggan, bakso urat atau bakso telur. Saat pelanggan memilih salah satu, barulah kamu siapkan bakso pilihannya.
Alur cerita akan menjadi sedikit rumit ketika bakso pilihan pelangganmu ternyata habis. Di waktu inilah yang tepat untuk menanyakan persetujuan pelanggan kamu. Apakah dia setuju untuk membeli ragam bakso yang lain? Jika dia tidak setuju dan tidak jadi beli bakso, kamu sebagai penjual tidak bisa memaksakan diri untuk tetap menjual bakso yang bukan pilihannya. Kata lainnya, pelanggan tidak memberikan konsen bagimu untuk menyiapkan bakso yang bukan pilihannya. Mari kita ulang. Kalau pelanggan bilang TIDAK, maka kamu sebagai penjual TIDAK menyiapkan bakso yang tidak ia mau. Kalau pelanggan bilang IYA, maka barulah kamu dapat menyediakan bakso tersebut. Tapi kalau pelanggan itu DIAM, bisa jadi dia ragu atau bingung. Sehingga ada baiknya daripada pelangganmu mengomel, lebih baik kamu menunggu sampai dia bilang IYA untuk menyiapkan baksonya.”
Nah, seperti yang di awal tadi Pedro bahas consent ini menjadi syarat utama dalam hubungan atau keterlibatan seseorang dalam suatu hal. Salah satunya adalah hubungan romantis seperti pacaran. Untuk kawan #GengBeda yang sudah punya pacar bukan berarti boleh sewenang-wenang dan seenaknya ya peluk pacar kalian. Tetap harus minta consent alias izin atau persetujuan dari pacar kalian dulu. Lalu kalaupun pacar kalian mau untuk dipeluk, bukan berarti kalian bisa memeluk pacar kalian kapan saja. Kalian tetap harus minta izin lagi jika di lain waktu ingin memeluk dia. Dan ingat, saat izin yang pacar kalian berikan itu hanya sebatas pelukan, maka kalian tidak boleh melakukan hal yang lebih. Jangan sampai kawan #GengBeda atau pacar kawan #GengBeda menjadi salah satu korban maupun pelaku kekerasan seksual, karena melakukan sesuatu tanpa consent.
Sumber :
“Consent Brochure Western Australian AIDS” diakses melalui https://waaids.com/images/Consent_Brochure1.pdf
“Consent, Incapacitation, Coercion, Forced, and Age of Consent” diakses melalui https://life.southtexascollege.edu/wp-content/uploads/2017/06/consent_incapacitation_coercion_force_and_age_of_consent.pdf
“What is Consent” diakses melalui https://sapac.umich.edu/article/49
“Makna Sikap Diam di Mata Hukum” diakses melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f1ff9d322ae4/makna-sikap-diam-di-mata-hukum
“Ah, Lagi-lagi Harus Belajar Consent” diakses melalui https://pamflet.or.id/portfolio/konsen/