Merdeka, satu kata yang hari ini digembor-gemborkan di mana-mana. Hmm, tapi merdeka yang gimana? Benarkah sekarang kita sudah bebas dari penjajahan atas tubuh? Yakin?
Mungkin memang nggak terlihat jelas, tapi nyatanya human trafficking (perdagangan manusia) masih terjadi dan kebanyakan korbannya ialah perempuan di daerah perbatasan, pedesaan, dan perkotaan, Kawan! Eits, laki-laki pun nggak luput jadi korban perdagangan manusia. Skuyy, simak tulisan ini sampai akhir ya, Kawan Geng Beda~
Perdagangan manusia merupakan masalah kompleks yang terjadi karena kemiskinan, akses pendidikan nggak memadai, prostitusi, sex tourism, korupsi, dan sebagainya (Cullen-DuPont, 2009). Apalagi, pandemi Covid-19 yang bikin kehidupan sebagian orang nggak stabil pun mendorong naiknya perdagangan manusia.
Nisa pengen bahas ini karena habis nonton film “Wadon Ora Didol” yang menggambarkan betapa menderitanya korban perdagangan manusia. Parah banget, anak-anak di bawah umur kebanyakan ditipu, diiming-imingi dapat pendidikan dan pekerjaan yang layak, dengar informasi dari orang lain yang mendorong buat segera migrasi, dijual dan dijadikan jaminan oleh anggota keluarga, bahkan perdagangan manusia melalui perkawinan anak.
Nisa heran, kenapa orang bisa setega itu, ya? Udah gitu, uang yang mereka dapatkan ini nggak bisa mereka gunakan untuk kebutuhan pribadi karena diminta paksa oleh keluarga, utang kepada muncikari, dan sebagainya. Kemiskinan struktural memaksa mereka untuk menghidupi keluarga dan kerap tidak dianggap berjasa.
Setelah dilihat dari sejarahnya, di zaman kerajaan banyak perempuan menjadi objek seksual dan dipoligami karena mereka dipandang berada di lapisan sosial terbawah. Nah, di zaman penjajahan Jepang, perempuan dan anak dari umur 9 tahun sudah diculik, kemudian dijadikan ianfu (budak seks). Mereka mengalami penyiksaan fisik oleh tentara Jepang dan mendapatkan trauma. Gimana nggak trauma?! Mereka dipaksa melayani puluhan laki-laki buas dan brutal, vagina mereka dirusak, jika hamil harus digugurkan, hingga ada pula yang meninggal. Sungguh biadab!
Para ianfu pun sulit dapat kerja di mana-mana dengan alasan ‘bekas pelacur’. Hotel-hotel kuno di kota besar maupun kota kecil menjadi saksi bisu jeritan dan siksaan kepada mereka yang dijadikan budak seks. Pekerja seks adalah sebuah pilihan pekerjaan tetapi yang perlu digaris bawahi yaitu pekerjaan ini beresiko untuk anak-anak yang dipaksa dan dieksploitasi. Katanya sih merdeka, tetapi kok nggak ada consent (izin/persetujuan) buat memilih pekerjaan? Jauh dari merdeka nggak sih, soalnya tubuh sendiri dikendalikan oleh orang lain 🙁
Sebelum Nisa ngomong lebih tentang consent, Nisa mau bilang kalau perdagangan manusia pun dialami oleh laki-laki, Kawan! Dalam realitas, para laki-laki dari beragam daerah dieksploitasi untuk menjadi pekerja perkebunan sawit dan tambang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah lain. Mereka dibayar dengan upah murah, disiksa, nggak dapat fasilitas, apalagi jaminan keselamatan dan kesehatan. Semua orang bisa jadi korban perdagangan manusia, nggak peduli kelamin dan gendernya.
Balik lagi ke consent atau pemberian persetujuan. Consent harus diberikan secara freely given (bebas tanpa tekanan) reversible (bisa diubah), informed (diberitahukan secara lengkap), enthusiastic (keinginan), specific (berlaku untuk satu hal), Kawan! Jadi, kita belum benar-benar ngasih consent kalau ada tekanan dan manipulasi, nggak benar-benar sadar, kita berubah pikiran, nggak tulus, nggak jujur, nggak ada keinginan, dan nggak spesifik ke satu hal, loh~
Kenapa harus ada consent, sih? Kalau kata John Kleinig, filsuf Amerika Serikat, tujuan consent tuh agar tiap individu bisa menjaga kedamaian sosial dengan nggak merugikan orang lain hanya untuk keuntungan diri sendiri. Gitu, Kawan! Kalau ada consent, kita melakukan hal dengan lebih setara, menghargai dan memanusiakan manusia. Nah, consent nggak hadir di kasus perdagangan manusia karena salah satu pihak posisinya lebih rentan dan mengalami banyak tuntutan.
Para remaja yang menjadi korban masih minim dengan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, risiko perkawinan anak, dan pengetahuan tentang pekerjaan. Akibatnya, mereka dijadikan sasaran perdagangan manusia, mendapatkan kekerasan fisik, ekonomi, mental, terkena penyakit menular seksual, putus sekolah, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dan masih banyak lagi.
Kasus-kasus human trafficking di berbagai daerah mengingatkan kita untuk lebih gencar menyuarakan pentingnya kesehatan reproduksi, hak atas tubuh, hak untuk memilih setuju atau tidak, paham risiko perkawinan anak, menghindari penipuan saat mencari kerja, dan masih banyak lagi. Gimana menurut kalian? Yuk, sebarkan ke kawan-kawanmu biar bisa mengedukasi diri sendiri, orang lain, dan lebih empati.
Referensi:
BBC News Indonesia. 2019, “Perdagangan Manusia Terbesar Terungkap: ‘Saya Dijual ke Irak, Diperkosa, Dipenjara”, bbc.com
Dinata, Dania. 2022, “Mengenal FRIES, 5 Syarat Sexual Consent yang Valid”, idntimes.com
Kristin, Debby. 2016, “Batting Human Trafficking Requires Change in Gender Perspective”, magdalene.co
Niko, Nikodemus. 2018. Fenomena Trafficking In Person di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat. Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak
Pamflet Generasi & Watchdoc Documentary, “Wadon Ora Didol”, youtube.com
Paramita, Kartika. 2021, “Menilik Konsep ‘Consent’ dalam Ilmu Hukum: Benarkah Mendorong Hubungan Seks di Luar Pernikahan?”, theconversation.com
Planned Parenthood, “Sexual Consent”, plannedparenthood.org
Putri, Marhamah I. 2021, “Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia”, tirto.id