Pilih Laman

Beragam Permasalahan Kemanusiaan: Gimana Ulama Perempuan Bersikap? (KUPI II)

22 Des, 2022

Kawan #GengBeda, peran pemuka agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat sangat penting bagi perjuangan untuk kemanusiaan, loh! Mereka punya kedudukan, pengikut, dan suara yang lantang untuk didengar. Masyarakat pun terkadang lebih mempercayai perkataan tokoh untuk membuat keputusan dan menjawab pertanyaan dalam keseharian.

 

Kawan, saat ini masih banyak pendapat, keputusan, dan ekspresi perempuan yang belum dianggap nyata. Masalah tersebut nggak sekadar masalah yang bisa diselesaikan secara cepat dan berlalu begitu saja. Kenapa gitu, ya? Ada nih, pengaruh dari kondisi sosial, status, kepercayaan, kebiasaan terdahulu, dan perspektif yang meminggirkan perempuan. Lalu, apa langkah besar tentang perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang akhir-akhir ini dilakukan di Indonesia? Skuy, simak cerita Nisa~

 

Nisa baru saja mengikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang diadakan pada 23-26 November 2022 di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah, nih. Nisa salut terhadap KUPI yang inklusif, memberikan ruang aman agar beragam komunitas bisa bersuara dan mengeluarkan pendapat dari apa yang selama ini mereka lakukan. Mereka terbuka dengan kritik, saran, dan cerita dari berbagai latar belakang. Nah, yang dimaksud ulama perempuan di sini yaitu setiap individu atau kolektif yang memiliki kapasitas dan sudut pandang kemanusiaan khususnya terhadap isu perempuan dan keadilan gender. Jadi, nggak hanya perempuan, ya? Yaap, bener banget!

 

Kawan #GengBeda, para ulama di KUPI menafsirkan ayat dari kitab suci tidak hanya secara tekstual, namun juga kontekstual (peristiwa maupun fenomena yang melatarbelakangi turunnya ayat) agar lebih mudah untuk dibandingkan dengan beragam  konteks masalah di kehidupan untuk memberikan pedoman bagi manusia berbuat kebajikan. Wah, bangga banget Nisa dengan langkah KUPI! KUPI fokus pada beragam isu, seperti perkawinan anak, kekerasan seksual, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), lingkungan, ekstremisme, Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan, dan aktivisme. Kongres ini merupakan gerakan akar rumput untuk berbagi ilmu pengetahuan dan berdiskusi untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi beragam kelompok.

 

Nisa bersyukur mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan mendengarkan cerita para korban sunat perempuan maupun aktivis perempuan yang memperjuangkan penghentian sunat perempuan. Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, padahal sudah dilarang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sunat perempuan selain nggak memberikan manfaat, ia malah membahayakan fisik, psikologis, masalah fatal lain dalam reproduksi, dan trauma.

 

“Saya menyaksikan sepupu-sepupu (perempuan) saya yang masih dua tahun disunat. Mereka belum tahu apa-apa, nggak tahu rasa dan cara berekspresi. Saya trauma”, itu ucapan salah satu peserta KUPI dari Gorontalo yang Nisa dengar. Praktik sunat perempuan ini dijalankan tanpa persetujuan, melanggar HAM, dan termasuk kekerasan terhadap anak. Parah sekali, kan?

 

Sayang seribu sayang, masyarakat di beberapa negara mempercayai kalau sunat perempuan adalah upaya penyucian jiwa, untuk mengendalikan hawa nafsu perempuan, kepercayan kalau bisa melahirkan banyak anak, dan sebuah tradisi yang harus dijalankan. Bahaya nyata sunat perempuan masih kalah dengan pengaturan perilaku perempuan, narasi agama, dan tradisi yang berkembang di suatu wilayah.

 

Menurut Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II), Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan tanpa alasan medis merupakan hal yang haram/terlarang. Sunat perempuan harus dihentikan atas alasan apapun, karena itu adalah salah satu bentuk diskriminasi dan pengekangan terhadap perempuan serta anak.

 

Kawan, selain sunat perempuan, KUPI memperhatikan masalah terkait perlindungan perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Hukum dari melindungi jiwa korban itu wajib, berapapun usia kehamilannya. Baik dengan cara melanjutkan maupun menghentikan kehamilan, sesuai pertimbangan medis dan psikiatris. Semua pihak, seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, dan pemerintah nggak boleh sewenang-wenang menyalahgunakan kekuatan dan kekuasaan mereka. 

 

#GengBeda, itu dia langkah yang cukup berarti yang dilakukan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) yang baru-baru ini dilaksanakan. Nisa sangat mengapresiasi KUPI yang berupaya memperjuangkan kemanusiaan dan menggunakan petunjuk kitab suci secara kontekstual dan menerima beragam perspektif. Beginilah seharusnya tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah, tokoh adat, aktivis, dan mahasiswa, yaitu mendengarkan beragam masukan yang membangun untuk memecahkan beragam persoalan di sekitar. Semangat buat memperjuangkan kemanusiaan! Gimana menurut kalian? Boleh banget buat dibagikan ke kawan-kawanmu, loh yaa~

 

Referensi:

Alfian, Andi. 2022, “Otoritas Agama, Pengalaman Keseharian, dan Peran Ulama Perempuan”, crcs.ugm.ac.id

Hidayahtullah, Muhammad A., “Peran Penting Ulama Perempuan: Mendorong Transformasi Sosial Berkeadilan Sosial di Tengah Konservatisme Agama”

Ramadhea, Chika. 2022, “KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara”, magdalene.co

Sutanti, Lena. 2022, “Mengapa Sunat Perempuan di Berbagai Negara Harus Dihentikan”, islami.co

Beranda / Cerita Nisa / Beragam Permasalahan Kemanusiaan: Gimana Ulama Perempuan Bersikap? (KUPI II)

Artikel Lainnya

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share This
Skip to content