Pilih Laman

Toleransi dan Keberagaman di Indonesia Nggak Sekadar Dongeng, Mimpi, apalagi Ilusi, kan?

16 Nov, 2022

Hola, Kawan #GengBeda! Pernah nggak sih, waktu di sekolah suka diceritain sama guru tentang betapa kayanya budaya Indonesia, beragam suku, ras, agama, dan bahasa? Atau tentang masyarakat Indonesia yang sangat ramah, menghargai, dan senang membantu? Yups, Gema setuju kalau keberagaman di Indonesia nggak perlu diragukan lagi dan kita patut bangga. Tapi eh tapi…

 

Akhir-akhir ini banyak sekali kasus diskriminasi, kekerasan terstruktur, dan  pengekangan kebebasan kepada masyarakat yang rentan. Siapa aja mereka yang rentan? Mereka adalah perempuan, anak, pengungsi, masyarakat adat, pekerja migran, kelompok minoritas agama, disabilitas, lansia, ODHIV (Orang dengan HIV), serta kelompok orientasi seksual dan identitas seksual. Kita udah bener-bener menghargai mereka belum, ya?

 

Kawan, di Indonesia ada banyaaak sekali agama dan kepercayaan, tapi yang diakui hanya 6! Akibatnya, pembangunan tempat ibadah masih dipersulit bahkan dirusak, pemakaman kelompok penghayat kepercayaan dilarang hingga dihancurkan, hingga label sesat, atribut keagamaan dipermasalahkan, dan pro-kontra lainnya.

 

Masih ingat dengan Sinagog Beth Hashem di Surabaya yang dibongkar? Bangunan tersebut merupakan satu-satunya tempat ibadah pemeluk Yahudi kala itu. Kini, telah dibangun Sinagog Shaar Hashamayim di Sulawesi Utara, Sinagoge Timika, dan Sinagog Beit Torat Chaim yang ada di Papua. Jumlah tempat ibadah terbatas, padahal pemeluk Yahudi di Indonesia jumlahnya ratusan hingga ribuan. Pendirian Museum Holokos (Holocaust) di Minahasa untuk mengedukasi bahaya rasisme dan kebencian pun mendapatkan banyak pertentangan. Kok bisa? Kebencian kepada keturunan Yahudi berkembang di kalangan masyarakat Indonesia karena perbedaan dalam penafsiran isi kitab suci. Begitu syulitttt.

 

Kawan, ada pula makam penghayat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat dilarang untuk didirikan karena dianggap akan menjadi sumber ke-musyrik-an dan tempat pemujaan. Padahal, makam tersebut didirikan di tanah milik pribadi. Astaga, Gema heran, dari kelahiran hingga kematian, para penghayat kepercayaan terus saja dipersulit oleh masyarakat sekitar. Inikah toleransi? Mau sampai kapan?

 

Geng Beda, urusan jilbab pun nggak henti-hentinya dipaksakan berbagai daerah. Mereka yang sudah berjilbab pun kerap diatur tentang model pemakaiannya. Kalau kita mau menengok ke belakang, gaya penutup kepala perempuan tradisional di Indonesia sangat beragam, seperti Tatupung untuk bekerja di perkebunan karet dan membawa benda berat di Kalimantan serta Tengkuluk untuk bertani di Jambi. Penutup kepala adalah pilihan, bukan paksaan~

 

Selain itu, Gema sangat sedih ketika melihat dan mendengar kasus penendangan sesajen, permasalahan azan, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan lainnya. Mengapa di Indonesia yang katanya tanah surga ini kebencian dan keegoisan kerap mengalahkan rasa cinta dan kemanusiaan?

 

Di bagian Indonesia lain, Suku Anak Dalam, Sedulur Sikep, masyarakat Mentawai, dan lainnya sebagai masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri, tidak bisa mendapatkan bahan pangan, dan terganggu hubungannya dengan alam yang merupakan spiritualitas.

 

Selain mereka, kelompok disabilitas kerap dinomorduakan, kerap tidak mendapatkan fasilitas untuk berjalan dengan aman dan nyaman di trotoar, kurang mendapatkan perhatian dalam pendidikan dan diskriminasi dalam pekerjaan. Mereka kerap dianggap tak berdaya, padahal banyak sekali disabilitas yang mempunyai skill, apalagi jika dibantu untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya itu. Oiya, waktu itu Gema pergi ke Museum Nasional Indonesia dan di sana sebagian sudah ada huruf braille dan alat pembaca layar untuk disabilitas. Semoga museum lain pun mengikuti langkah keren ini~

 

Kelompok lain yang sangat rentan didiskriminasi dan mendapatkan kekerasan yaitu mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender non-biner (tidak hanya tentang laki-laki dan perempuan). Gema pernah melihat transpuan ditegur oleh seseorang di kendaraan umum dan gestur orang di sekitar yang menjauhinya. Selain itu, mereka pun kesulitan mendapatkan pekerjaan karena lowongan pekerjaan hanya disyaratkan untuk laki-laki dan perempuan. Kasus pembunuhan transpuan dan prank oleh youtuber pun terjadi di negeri ini.

 

Nggak berhenti di situ, orang dengan ragam gender dan seksualitas kerap kesulitan mendapatkan akses untuk beribadah. Mereka sering dianggap tidak taat, dosa, penyimpangan, menjijikkan, berbahaya, dan dibenci oleh Tuhan. Empati mana empati?

 

Mereka dengan orientasi seksual dan identitas gender yang mungkin kurang familiar itu sama-sama manusia yang harus dihargai. Orang dengan ragam gender dan seksualitas berhak beribadah dengan aman dan nyaman. Teman Gema yang transpria pun memilih beribadah salat Jumat berjamaah dengan aplikasi meeting daring karena merasa lebih nyaman.

 

Ternyata, negeri ini belum aman dan nyaman seperti apa yang selama ini kita dengarkan dari guru atau orang tua, ya. Sedih nggak papa, tapi kita harus terima fakta dan realitas yang terjadi, Kawan. Kenapa ya pengekangan dan kekerasan masih sering terjadi di berbagai daerah? Masyarakat masih kaget dan belum bisa bersikap menerima perbedaan, padahal beda itu biasa, kan? Stigma dan kebencian timbul karena kurang interaksi, alias kurang ngobrol dengan orang yang berbeda. Sosialisasi primer dari keluarga dan sosialisasi sekunder dari lingkungan sekitar pun mempengaruhi persepsi individu mengenai toleransi, Kawan! Nah, selain itu, media pun berperan mengedukasi, bukan malah menyebar kabar bohong, membuat judul rasis, seksis, dan tanpa empati. Stop deh!

 

Kalau sudah begini, apa yang bisa kita lakukan? Biar terbiasa dengan perbedaan dan memaknainya, kita perlu melakukan kegiatan bersama dan memperbanyak diskusi lintas agama, kepercayaan, dan komunitas! Agar pendidikan makin oke, perlu pelatihan mengenai toleransi kepada pemuka agama, guru, dan masyarakat, bekerja sama antar lembaga agama, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan masyarakat itu sendiri. Setuju nggak, Kawan?

 

Oiya, Selamat Hari Toleransi Sedunia! Nggak mau kan kalau Bhineka Tunggal Ika tinggal slogan tanpa pemaknaan? Skuy, bagikan tulisan ini ke kawan-kawanmu~

 

Referensi:

BBC Indonesia. 2022, “Museum Holokos di Minahasa: Apa yang jadi keberatan, Zionisme atau Yudaisme?”, bbc.com

Utama, Abraham. 2016, “Riwayat Komunitas Yahudi di Surabaya”, cnnindonesia.com

Kurniawan, Joeni. 2022, “Non-Muslim hingga Tionghoa Ramai-ramai Dibenci, Bukti Kita Intoleran”, magdalene.co

Mandey, Skivo. 2022, “Pro Kontra Museum Holocaust di Minahasa, Sebagian Sebut untuk Edukasi, Lainnya Nilai Tak Relevan”, regional.kompas.com

Beranda / Cerita Gema / Toleransi dan Keberagaman di Indonesia Nggak Sekadar Dongeng, Mimpi, apalagi Ilusi, kan?

Artikel Lainnya

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share This
Skip to content