Menurut hasil riset tentang tingkat toleransi di Indonesia, terdapat lima kota yang disebut paling toleran, yaitu Manado, Pematangsiantar, Singkawang, Salatiga, dan Tual. Riset ini dilakukan oleh Setara Institute, lembaga yang bertujuan mempromosikan pluralisme, kemanusiaan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia ini.
Data Setara Insitute menunjukkan kelima kota dari 94 kota di seluruh Indonesia yang disurvei memiliki angka yang sama, dari penilaian terkait bagaimana masyarakat yang heterogen hidup bersama dan siap mencegah ketegangan agama.
Mau tau bagaimana cerita mereka yang tinggal di kota-kota tersebut?
“Kapan-kapan jalan-jalan dong ke vihara Avalokiteshvara di Pematangsiantar. Meskipun Buddha adalah minoritas di sana, namun patung Dewi Kwan Im yang amat gede tegak berdiri kokoh sampai saat ini. Gak ada protes-protes dan gak ada yang minta untuk menurunkan patung tersebut. Malahan mereka yang beragama di luar Buddha seperti Islam dan Kristen foto-foto asyik di situ,” cerita Johana melalui Facebook BBC Indonesia.
Cerita lain tentang Pematangsiantar diangkat Daniel Sofyan yang menulis, “Punya teman di sana, dan itu sangat benar, Pematangsiantar adalah kota yang penuh dgn toleransi, teman saya cerita, setiap perayaan hari besar agama mereka akan saling mengunjungi, baik umat Muslim, Kristen, Budha, mereka saling bercanda tawa di kedai kopi.. mereka seakan tidak saling memendam kebencian, yang benar itu benar yang salah itu salah tanpa memandang latar belakang agama. Itulah seharusnya Indonesia.”
Warga lain Andi Silalahi berkomentar singkat, “Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar.”
Ismail Hasani dari Setara Insitute, yang membuat survei terkait Hari Toleransi Internasional pada 16 November lalu memberi contoh tingginya toleransi di kota-kota ini antara lain karena berhasil mencegah kemungkinan ketegangan antara pemeluk agama.
Manado, contohnya kata Ismail, memiliki Badan Koordinasi Kerjasama Antar Agama, satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki badan seperti ini yang berfungsi untuk melakukan “mitigasi ketegangan agama.”
Penduduk Manado membanggakan diri dengan moto hidup bersama dengan Kitorang Samua Basudara, kita semua bersaudara.
Kristi Anto yang pernah tinggal di Salatiga bercerita tentang pengalamannya melalui Facebook BBC Indonesia, “Empat tahun saya belajar di Salatiga tahun 1989 – 1993. Salatiga kota kecil dengan multi etnik yang dapat hidup berdampingan.”
Tual, Maluku, juga menjadi kota yang paling toleran karena masyarakat setempat menyadari bahwa “agama bukan medium permusuhan” pasca konflik 1999.
“Pasca konflik mereka menyadari bahwa konflik ini awalnya sepele dan ada pihak yang memanfaatkan. Masyarakat sadar bentul bahwa mereka “diadu domba” dan mereka punya kesadaran lebih di atas rata rata dan punya ketahanan sosial kuat,” kata Ismail.
Kesadaran membengi diri di Singkawang, Kalimantan Barat, juga dirasakan David Willyiam, melalui Facebook BBC Indonesia.
“Beberapa tahun yang lalu hingga sekarang masih sempat terjadi gesekan dan provokasi serta pengrusakan monumen berwarna etnisitas dan upacara adat lokal di kota Singkawang dan Pontianak oleh ormas radikal dari luar Kalimantan Barat… Mereka mendapat penolakan dari semua unsur etnis yang sudah hidup rukun di Kalbar sejak dulu,” tulis David.
Contoh di Manado ditulis Man Adam, “Kami tiga bersaudara, bapak saya Muslim, sepupu saya sebelah bapak Muslim tapi kami saling menyayangi dan menghormati, demikian juga dalam pergaulan sehari-hari tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara Muslim Kristen dan agama-agama lain.”
“Tidak ada mengkafirkan terhadap pemeluk agama dan beda suku karena setiap hari besar agama-agama yang ada di Sulawesi Utara saling berkunjung dan memberi ucapan selamat merayakan, demikian juga diacara kedukaan semua saling menghibur dan menguatkan tanpa pandang beda suku, agama dan ras,” tambah Adam.
Dan melalui Facebook BBC Indonesia, salah seorang pengguna Elena Pratama Putri menulis, “Semoga virus virus kebencian kedengkian yang selalu disebarkan oleh mereka mereka yang dangkal pemahaman agamanya tidak masuk dan menjangkiti masyarakat di kota-kota itu.”
Tulisan ini disadur dari artikel BBC Indonesia yang berjudul ‘Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,’ Cerita Warga yang Tinggal di Kota-kota Paling Toleran, yang terbit pada 22 November 2017