Pilih Laman

Boleh Nggak Sih Anak Punya Pemikiran dan Pendapatnya Sendiri?

1 Jun, 2021

Hi, kawan #GengBeda! Hari ini 1 Juni bertepatan dengan Hari Anak-Anak Sedunia. Sayangnya malah banyak cerita dan berita sedih yang Pedro denger. Salah satunya adalah angka pernikahan anak yang meroket 300% selama pandemi. Bukan hanya secara nasional, secara regional Indonesia menduduki ranking ke-2 lho, kawan #GengBeda. Mau tahu nggak ranking dunianya? Nomor 8 huhu. Ngenes dan miris banget kan ya? Ini sih ranking yang bukan untuk dibanggain atau dirayakan. Nggak sama sekali. Big NO NO.

Meskipun sudah jelas ya kawan #GengBeda bahwa untuk menikah, seseorang setidaknya harus berusia 19 tahun. Tapi sayangnya ada celah yang bikin peraturan ini cacat. Yes, ada yang namanya dispensasi umur dengan beberapa alasan beserta bukti yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut dianggap mendesak. Nah lho? Bingung kan? Pedro juga bingung! Apapun alasannya, mau mendesak atau tidak, menikahkan orang di bawah usia 19 tahun akan menjerumuskannya ke pernikahan anak. Badan Kesehatan Dunia atau WHO dan Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa kategori usia anak adalah sejak dalam kandungan hingga berusia 19 tahun. Seremnya lagi nih, kawan #GengBeda, celah ini dipakai untuk pelaku pemerkosa dan kekerasan terhadap anak untuk menikahi korbannya dengan alasan ina inu.

Kalau kawan #GengBeda udah baca buku atau nonton film Little Women, tokoh utamanya yaitu Jo memberontak dari konstruksi sosial (Kalian bisa lihat ulasan singkatnya di sini). Dia nggak mau perempuan terutama anak-anak dianggap menjadi beban keluarga. Dia menolak menjadikan pernikahan sebagai solusi utama masalah ekonomi keluarga. Selama pandemi ini, kita semua tahu dan bahkan mengalami betapa sulitnya mencukupi kehidupan ekonomi. Inilah yang dijadikan alasan dalam tanda kutip “mendesak” oleh para orang tua yang memaksa menikahkan anak-anak mereka.

Kenapa sih pernikahan anak itu berbahaya, kawan #GengBeda? Paling tidak ada tiga masalah yang akan disebabkan oleh pernikahan anak:

      1. Pertama, secara mental anak-anak belum siap untuk menanggung berbagai beban rumah tangga termasuk beban reproduksi, apalagi jika pihak keluarga memaksa si anak untuk segera memberikan momongan.
      2. Kedua, terkait reproduksi, organ anak belum siap untuk hamil dan bahkan melahirkan dan menyusui pada usia muda. Resiko kesehatan bahkan kematian sangat tinggi sekali pada usia dini.
      3. Ketiga, kalaupun si anak berhasil melahirkan bayi. Bayi yang dibesarkan oleh orang tua, khususnya ibu yang tidak siap secara psikis dan tertekan secara batin akan menciptakan lingkaran kekerasan yang tidak berujung. Anak akan mewarisi trauma dari ibunya.

Jadi gimana nih, kawan #GengBeda? Boleh nggak sih sebenernya anak-anak buat punya pemikiran dan pendapatnya sendiri? Dalam Konvensi Hak-Hak Anak, ada 50 poin yang mengkonfirmasi bahwa YA anak-anak punya hak bersuara, berekspresi, dan memilih pilihan hidupnya. Dan ini harus (pake banget) diperhitungkan dengan serius oleh orang dewasa terutama mereka yang bertanggung jawab merawat anak tersebut. Misalnya, orang tua, guru, keluarga besar, orang dewasa di sekitar, dan bahkan negara. Sayangnya, istilah anak durhaka seringkali dijadikan senjata untuk membungkam anak dan menekuk lututnya.

Beberapa pemuka agama yang moderat seperti almarhum Syekh Ali Jaber dan Mustofa Bisri pernah mengingatkan para orang tua di Indonesia lho, kawan #GengBeda. Orang tua juga bisa durhaka. Nah lho lagi? Gimana-gimana? Yes yes, segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak baik berbentuk verbal, psikis, seksual, dan fisik merupakan bentuk kedurhakaan orang tua kepada anak-anak yang seharusnya ia rawat dengan penuh kasih.

Baru-baru ini kawan #GengBeda pasti udah denger berita yang nggak kalah bikin nyesek dan ini bukan hanya durhakanya orang tua ya, tapi Pedro udah speechless banget. Mau cry rasanya. Udah cry sih. Huhuhu. Seorang anak direnggut nyawanya dengan dipraktikkannya tindakan kekerasan berkedok pengusiran setan. Anak tersebut dituduh menjadi super nakal karena kerasukan setan. Lah lah? Anak nakal bukannya dididik dengan cinta kasih, atau mungkin dia nakal karena kekurangan kasih sayang. Iya nggak sih, kawan? Ini malah orang tuanya membawa si anak ke dukun. Terus si dukun mengklaim bahwa ada genderuwo yang merasuki si anak. Si dukun melakukan praktik kekerasan terhadap anak dengan cara menenggelamkannya ke dalam bak mandi. Lemes banget Pedro ngetik ini: sampai si anak meninggal.

Selain kesehatan reproduksi, kesehatan mental juga ditabukan di negeri ini. Tindakan pasung dan pengurungan masih dipilih orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Bukannya mencarikan bantuan ke psikolog atau psikiater anak; tindakan pemasungan, pengurungan, dan bahkan praktek-praktek kekerasan berkedok ina inu memperburuk keadaan si anak hingga merampas nyawanya. Saat anak berontak dan menolak, tindakan kekerasan semakin menjadi-jadi karena si anak dianggap melawan dan durhaka. Haduh-haduh, Pedro sedih banget nih, kawan #GengBeda.

Yaudah sampe situ dulu ya kawan #GengBeda. Yuk sama-sama kita baca lagi Konvensi Hak-Hak Anak. UNICEF mengeluarkan versi yang juga mudah dipahami oleh anak-anak lho. Pedro dan kawan #GengBeda pasti bisa ikut serta memutus rantai kekerasan ini. Paling tidak dengan menyembuhkan luka masa kecil kita ya kawan #GengBeda, dan tidak mengulanginya. Misalnya dengan menolak sistem perploncoan atau ospek terhadap junior di sekolah atau di kampus. Selamat Hari Anak-Anak Sedunia, semoga anak-anak yang ada di dalam diri Pedro dan kawan #GengBeda bisa menyembuhkan traumanya dan mau serta mampu membantu sesamanya untuk terus sembuh.

 

Sumber:

 

Penulis: Isti Toq’ah

Beranda / Cerita Pedro / Boleh Nggak Sih Anak Punya Pemikiran dan Pendapatnya Sendiri?

Artikel Lainnya

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share This
Skip to content