Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi..
Selamat memaknai tanggal 9 Agustus 2020. Eh, sudah ada yang tahu belum itu peringatan hari apa? Yup! Hari Masyarakat Adat Sedunia! Hari tersebut menjadi selebrasi bersama bahkan sedunia untuk menghormati masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat adat yang ada di seluruh dunia. Siapa yang harus menghormati kehidupan masyarakat adat? Ya tentu kita semua setiap warga negara dan pemerintah yang harus ambil peran dalam pemenuhan kehidupan masyarakat adat. Terdapat karakteristik khusus dari penduduk yang hidup di pedesaan dan pedalaman. Kehidupan masyarakat adat secara turun temurun sangat unik dengan aturan-aturan adat yang khas dan mengikat satu sama lain antar penduduknya.
Tahukah kamu kalau masyarakat adat juga berjuang untuk dapat pengakuan dari negara? Kalo di Indonesia, ada tuh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dibentuk pada 1999. Kelompok ini berupaya untuk menyuarakan wacana adat, hukum adat, dan kehidupan layak untuk Masyarakat Adat itu sendiri. Selama ini, perjuangan masyarakat adat disangkal oleh Negara seperti meniadakan keberadaan masyarakat adat dan merampas hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola Masyarakat Adat. Belum lagi menyoal kekerasan, pemiskinan, eksploitasi, dan stigma. Tentu tantangan terbesarnya adalah meralat kebijakan yang menganggap Masyarakat Adat itu gak eksis dan masuk dalam subyek hukum yang sah, seperti yang dituliskan oleh Noer Fauzi Rachman dalam Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya.
Nah, bisa kebayang dong perjuangan Masyarakat Adat itu ga mudah dan Negara harus mengambil langkah untuk memikirkan kehidupan Masyarakat Adat. Apalagi di masa pandemi seperti ini, banyak hal yang sulit dilakukan di luar rumah namun akan menjadi dilema jika gak dilakukan oleh Masyarakat Adat. “Situasi Masyarakat Adat di wilayah adat itu minim fasilitas kesehatan, bahkan tidak punya puskesmas. Maka, kalau COVID-19 masuk wilayah adat, bisa dipastikan akan banyak sekali Masyarakat Adat jadi korban karena jangkauan dan akses yang sulit,” seperti kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi yang dilansir oleh aman.or.id.
Pada peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia di tahun ini, lembaga global atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema COVID-19 dan ketahanan Masyarakat Adat. Namun, apa sih yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menghargai dan memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat? Sejujurnya, menurutku selama pandemi ini belum ada upaya apapun dari pemerintah untuk menghargai masyarakat adat. Justru, di tengah pandemi pemerintah malah semakin mengerdilkan keberadaan masyarakat adat dengan melanjutkan pembahasan RKUHP. Loh kenapa begitu? Ini aku berikan salah satu contoh yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hukum adat akan diakomodasi dalam RKUHP yang isinya ada pada pasal 2, berbunyi:
- Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
- Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Menurut pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bahwa pasal tersebut berpotensi akan mengkriminalisasi masyarakat adat dan umum. Hukum pidana gak bisa disandingkan dengan hukum adat, karena hukum pidana itu harus tertulis sedangkan hukum yang hidup di masyarakat (yang biasa digunakan oleh masyarakat adat) tidak tertulis. Hal tersebut karena hukum adat gak melihat sesuatu dari perbuatan yang disengaja atau lalai, melainkan pada akibat yang ditimbulkan. Selain itu, jika ada penggabungan hukum adat ke dalam hukum negara yang mungkin dijadikan peraturan daerah, artinya pemerintah semena-mena untuk menentukan hukum mana yang hidup atau gak di dalam hukum adat. Prof. Sulistyowati Irianto, seorang Akademis FH Universitas Indonesia mengatakan, “bahwa hukum adat itu bersifat dinamis dan terus berubah. Hukum adat bagian dari kebudayaan masyarakat sehingga dapat berubah tergantung cara berpikir, berpengetahuan, dan cara mengaturnya oleh Masyarakat Adat itu sendiri.” Nah, kan… makanya penting banget untuk menelaah lebih dalam jika Negara ingin mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Belum lagi, ada laporan Komnas Perempuan yang mengidentifikasi kalau banyak banget peraturan daerah yang justru diskriminatif. Wah, bisa membahayakan banget kan kalau hukum adat akhirnya masuk ke RKUHP dan peraturan daerah.
Sebagai negara anggota PBB, seharusnya Pemerintah Indonesia juga bisa memasukan instrumen-instrumen internasional tentang pengakuan Masyarakat Adat. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Tristam Pascal Moeliono Dekan FH Unpar, bahwa kelompok tersebut berhak mengidentifikasi sendiri keberadaan penduduknya bersama hak-hak tradisionalnya. Bukan malah jadi seenak sendiri mengatur mana hukum adat yang hidup dan mana yang tidak. Karena, kalau begitu jelas-jelas keputusan pemerintah Indonesia bertentangan dengan Konvensi ILO dan UNDRIP.
Belum lagi pasal lainnya di dalam RKUHP yang masih diskriminatif terhadap Masyarakat Adat. Salah satunya pasal 484 dan 488 yang mengatur perkawinan masyarakat umum. Jika ada dua orang yang berhubungan seksual dan hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah, maka hukum negara berhak memberikan dua tahun kurungan dan denda 50 juta. Astagfirullah. Nah, di dalam UU perkawinan syarat yang sah dari perkawinan adalah harus diselenggarakan sesuai hukum agama dan tercatat di Kantor Catatan Sipil. Namun, berdasarkan catatan advokasi AMAN, masyarakat hukum adat masih mengalami penolakan dari kantor catatan sipil karena perkawinannya gak dilaksanakan menurut agama yang diakui di Indonesia.
Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan pengakuan penghayat di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di no. 97 tahun 2016. Tapi, pada praktiknya gak bisa demikian dan pemerintah belum mengeluarkan instrumen hukum untuk mengawal praktik keputusan ini. Begitu yang aku baca di aman.or.id. Jika pasal 484 dan 488 di RKUHP disahkan, maka pernikahan dengan hukum adat akan dianggap zinah. Hmmm… Data Bappenas 2013 dan 2014 mengatakan kalo 40-50 juta Masyarakat Adat dan penghayat kepercayaan sulit mengakses pencatatan perkawinan. Ya, karena kelompok tersebut gak diakui keberadaannya di dalam catatan sipil. Ukhti dan Akhi, gimana menurut kalian? Kita harus getol gak sih #HapusPasalNgawur di RKUHP?
Sumber:
- Eka Hindra, “Ancaman RKUHP Bagi Masyarakat Adat”, aman.or.id, diakses pada 6 Juli 2020 melalui http://www.aman.or.id/2018/02/ancaman-rkuhp-bagi-masyarakat-adat/
- Noer Fauzi Rachman,”Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya,” regional.kompas.com, diakses pada 7 Juli 2020 melalui https://regional.kompas.com/read/2012/06/11/03572833/Masyarakat.Adat.dan.Perjuangan.Tanah-Airnya?page=all
- Nurdiansyah Dalidjo, “Kerentanan Masyarakat Adat di Tengah Wabah,” aman.or.id, diakses pada 8 Juli melalui http://www.aman.or.id/2020/05/kerentanan-masyarakat-adat-di-tengah-wabah/
- Reformasikuhp.org
- Un.org
- Fikri Arigi, “Komnas Perempuan: Ratusan Perda Diskriminatif Terhadap Perempuan,” tempo.co, diakses pada 10 Agustus melalui https://nasional.tempo.co/read/1147997/komnas-perempuan-ratusan-perda-diskriminatif-terhadap-perempuan/full&view=ok