Aku yang Menemukan
Dengan suara gemetar dia berucap, ”Kami tidak menertawakan kalian, mengapa kalian tersinggung?”.
Laki-laki kekar itu mendorong tubuh temanku yang gemetaran tanda ketakutan. Aku kira teman-teman lain akan bereaksi, namun mereka hanya berdiri kaku dan tak bersuara. Aku menunggu, cukup lama, hingga ejekan-ejekan berikutnya membuat harus melepaskan emosi di dada. Aku yang maju, menantang mereka, kutanya baik-baik apa salah temanku. Aku meminta maaf atas apa yang diperbuat sekumpulan anak muda yang aku pikir adalah teman-teman baikku. Aku ingin mereka dibebaskan.
“Boleh!,” ujar si kecil tengil dengan lantang.
“Kamu akan kami sandera, baru teman-teman kamu boleh pergi”, lanjutnya.
Bukan keberanianku yang aku kagumi, tapi kemudahan berujar kepada mereka yang membuatku terperangah. Hingga mereka melepaskan sekumpulan anak muda yang aku pikir teman-teman baikku, tanpa berani menatap mataku. Mereka berucap terima kasih kepadaku dan pergi. Mereka pergi menunggangi motor masing-masing, berboncengan, tanpa melihat ke belakang, meninggalkanku.
“Baik. Aku sendirian. Lalu bagaimana? Apakah aku bisa mengalahkan lima laki-laki beragam ukuran ini?” ujarku dalam hati. Kali ini aku tidak bisa berbohong dengan diriku sendiri. Bahwa iya aku takut dan tidak jika aku membiarkan mereka memojokkanku.
Aku menyerang lebih dulu, dengan sigap kutendang satu orang di selakangan si kecil tengil. Disusul dua anggota lainnya maju menyerangku, sembari yang dua lainnya menolong bosnya. Kupukul jakun anggota yang lain, namun yang lainnya luput dari seranganku. Aku terjebak! Panik! Pikiranku tidak karuan dan menghalang konsentrasiku hingga adrenalinku kacau. Aku akan diculik? Dibunuh? Diperkosa? Atau diculik, diperkosa, dan dibunuh?
“Woi!”, teriak perempuan Tionghoa dari kejauhan sambil menunggangi motornya. Ku kernyitkan dahi memandang perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki itu. Sore itu, ia masih lengkap dengan celana kain dan dasi kerjanya. Entah apa yang terjadi, keramaian sudah mulai sepi ketika aku terperangah melihat perempuan Tionghoa itu. Orang-orang yang berdatangan mulai kembali ke tempatnya semula. Samar-Samar kudengar perempuan maskulin itu berkata, ”Dia adik saya,” kepada segerombolan orang-orang yang hampir menyakitiku. Dia mengajakku naik ke motornya. Setengah sadarku menuruti kemauannya. Padahal aku tak tahu akan dibawa ke mana. Hingga sampai aku di suatu ruangan yang terang benderang, berdiri di depanku perempuan maskulin itu dengan satu perempuan lainnya yang sangatlah keibuan.
“Kenapa, sayang?,” tanya perempuan itu penuh perhatian dengan mimik yang sangat lembut. “Kamu kelahi dengan siapa?,” lanjutnya.
Aku masih melihat mereka ketakutan, lidah kelu dan kerongkonganku kering tidak dapat menjawab.
“Oh iya, kenalan dulu. Aku Selina dan sekarang kamu berada di rumahku. Perempuan yang membawa kamu kemari bernama Candra,” katanya sambil menunjuk perempuan maskulin itu.
“Aku baru pulang kerja, Ce. Aku lihat dia lagi dikeroyokin lima preman dan teman-teman dia kabur,” timpal Candra ke Ce Selina dengan raut wajah masam ke arahku.
“Kamu sok jadi pahlawankah, sayang?,” tanya Ce Selina sambil memandangku dengan lembut.
Aku cuma bisa mengangkat bahu untuk memberi tahu kalau aku tidak tahu harus berkata apa.
“Rumah kamu di mana?,” tanya salah satu dari mereka, yang tidak pula kujawab segera.
“Tadi siapa nama kamu?,” Selina kembali mengembalikan pandanganku ke arahnya.
“Rin,” aku yang mulai luluh dan menjawab pelan.
“Nah, Rin, apa yang kamu perbuat dengan begundal-begundal itu?,” tanyanya masih dengan senyum.
Aku mendongak, mencoba membela diri, mencari kata-kata pembenaran, “Bukan aku! Mereka berlima dan mengeroyokku. Aku perempuan!,” ujarku dengan tekanan ingin dimengerti.
Candra meresponku dengan tawa, “Hahahaha! Menurut kamu siapa yang menolong kamu menghajar lima orang preman itu? Aku juga perempuan! Atau mereka pikir aku laki-laki, makanya mereka kabur ya?,” dilanjutkan dengan kekeh yang panjang.
Setelah kuperhatikan, dalam keadaan yang tidak lagi pening, perempuan bernama Candra ini sama sekali tidak terlihat perempuan. Tampilannya, struktur wajahnya, tinggi badannya, hingga motor yang ia gunakan pun, gambaran untuk digunakan oleh laki-laki. Aku bergulat dalam pikiranku sendiri, bertanya-tanya tentang siapa orang-orang baik ini. Ataukah mereka lebih jahat dari preman-preman tadi?
Selina memecah konsentrasiku dengan tanya, “Aku tidak bertanya tentang kejadiannya dan siapa yang menganiaya kamu, darling. Aku bertanya apa yang kamu lakukan dengan anak-anak berandalan tidak bermasa depan begitu di taman?,” sambil menuangkan teh dalam cangkir putih.
Aku pun tersadar, Selina sedang berbicara tentang teman-temanku, atau mereka yang kupikir ‘teman-temanku’.
Pada jeda waktu yang cukup lama, kuangkat gelas yang disodorkannya dengan tanganku yang gemetaran. Sembari itu aku menjawab, “errr, mereka temanku.”
“Kamu ini anak yang cerdas. Nilai-nilai sekolahmu cukup bagus. Mengapa tidak pandai mencari teman?,” jelas Selina membuatku terperangah lagi. Bagaimana ia tahu nilai-nilaiku di kampus? Batinku.
“Candra sempat memeriksa tasmu untuk mencari tahu siapa kamu. Mohon maaf nih. Kami agak lancang namun untuk keselamatan kami juga. Apakah orang yang kita ingin selamatkan ini, layak untuk diselamatkan.” tukasnya lagi panjang lebar, seakan tahu raut wajahku penuh dengan pertanyaan.
“Tenang. Gak ada barangmu yang hilang,” ujarnya lagi sambil menyerahkan tasku.
“Kakak Candra kerja di mana?,” tanyaku memecah keheningan yang cukup lama. Aku hanya tidak tahan lagi menahan semua pertanyaan yang ada di kepalaku. Siapa perempuan Tionghoa dengan penampilan seperti laki-laki ini? Seperti ‘orang benar’.
“Di hotel yang ada di depan taman sebelah sana,” ujarnya singkat melihatku penasaran sebagaimana aku pun penasaran dengannya. Bagaimana mungkin seorang perempuan maskulin ini dapat bekerja di tengah syarat pekerjaan yang mengharuskan perempuan untuk berpenampilan menarik. Apalagi untuk bekerja di sebuah hotel bintang empat.
“Candra ini digital specialist dari hotel itu, heran ya kenapa perempuan kaya dia kerja di hotel hahaha, kamu pikir pasti perempuan tomboy cuma kerja jadi kuli ya? Bahkan sulit mendapatkan pekerjaan?,” jelas Ce Selina ditutup dengan pertanyaan yang menohok.
Aku mau tidak mau ikut tersenyum dan memberanikan diri lagi untuk bertanya, “Lalu Kak Selina kerja di mana?”.
“Aku psikolog yang jadi budak korporat, sayang.”’ ujarnya sambil tersenyum.
“Sepertinya kamu lelah, Rin. Istirahat dulu ya, mau dihubungi mama biar ga khawatir?” lanjutnya.
“hmm, mamaku sedang di luar kota, Kak. Aku di rumah sendiri dan aku sudah enakan, kok.” lanjutku sambil berdiri, namun limbung menahan sakit di ulu hati.
“Eh.” Candra sigap menahanku dan memaksaku duduk.
“Aduduh kamu ini masih sakit, istirahat dulu ya,” ujar Selina khawatir.
“Aku sudah hubungi Om Bob. Ia dokter sekitar komplek ini. Jadi kamu tunggu dulu ya. Setelah dicek Om Bob, kamu bisa pulang,” jelasnya panjang lebar
Mereka beranjak dari sofa yang kutempati untuk memberiku ruang beristirahat. Namun, aku langsung memberikan pertanyaan tidak lama setelah mereka berdiri.
“Tunggu. Anu… kalian ini siapa?”’ tanyaku yang diikuti perhentian mereka dan menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya.
Selina tersenyum, “Aku Selina dan ini adikku Candra. Ini rumahku yang juga dijadikan tempat untuk anak-anak berpotensi besar untuk hidup sebagai manusia seutuhnya tanpa kehilangan arah. Kamu mau jadi adikku juga?”
Aku memandangnya, memandang ke Candra, kembali lagi ke Selina. begitu berulang. diam, tersenyum, merasa diterima, ku ucap kata lirih.
“Iya”