Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi…
Rasanya akhir-akhir ini semakin sendu ya. Banyak hal yang terjadi di tengah masa pandemi dan upaya untuk melawan juga semakin solid. Sayangnya, pemangku kebijakan tetap gak berpihak sama rakyat. Aksi Selasaan yang pernah aku #KupasTuntas di sini, semakin banyak pendukungnya. Rasanya senang karena sudah semakin aware tentang pentingnya RUU P-KS. Namun, sedih juga sih kalo usaha-usaha masyarakat tuh gak digubris sama DPR-RI dan pemerintah. Selasa (6/10) lalu, kali kedua aku mengikuti Aksi Selasaan via daring. Banyak mudi-muda yang turut andil dalam berorasi, membacakan puisi, dan juga berefleksi tentang kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini.
Aksi Selasaan juga gak hanya dilakukan via daring. Di beberapa daerah melakukannya dengan terjun langsung ke jalan. Seperti misalnya di Bandung yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari mahasiswi/a, buruh, dan juga ada dari individu. Contoh lainnya di Yogyakarta yang melakukan aksi teatrikal di depan gedung DPRD meski dihadang oleh aparat. Selanjutnya juga ada di Kota Samarinda yang melangsungkan aksi meski dihadang oleh ormas. Wah! Kebayang kan perjuangan untuk mendorong pengesahan RUU P-KS ini? Padahal ini RUU P-KS untuk semua. Di tengah wabah COVID-19 ini harus tetap berjuang meski kepala spaneng, badan lelah meronta-ronta, kulit kepanasan, dan lainnya.
Aku juga sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri: kenapa sih kita harus kekeuh melakukan aksi? Kemudian aku menemukan sendiri jawabannya setelah melihat kelakukan DPR-Pemerintah yang gak bersahabat lagi sama rakyat. Melihatnya bikin aku merasakan pusing, mual, dan sakit perut. Bagaimana ya teman-teman yang turun aksi ke lapangan untuk RUU P-KS ini? Terlebih lagi, gimana ya dengan korban kekerasan seksual yang sampe sekarang masih merasakan ketakutan dan gak mendapatkan haknya? Wah, aku semakin sedih memikirkannya.
Ukhti dan Akhi, seperti yang dituliskan media kbr.id, Profesor psikologi dan neurosains dari Universitas Rutgers bernama Tracey J. Shors menuliskan bahwa 33 persen perempuan korban kekerasan seksual didiagnosa menderita post-traumatic stress disorder atau PTSD. Hal tersebut merupakan gangguan stres pasca trauma yang dialami oleh seseorang setelah mendapatkan peristiwa yang gak menyenangkan. Di dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Stressful Life Memories Relate to Ruminative Thoughts in Women with Sexual Violence History, Irrespective of PTSD (2018), Prof. Tracey Shors juga menjelaskan bahwa 67 persen perempuan korban kekerasan akan mengalami depresi dan kecemasan yang gak karuan dan dapat menjadi gangguan mental serius.
Tulisan ilmiah tersebut hasil penelitian terhadap 183 orang perempuan multi ras dengan rentang usia 18-39 tahun. 64 orang dari jumlah tersebut merupakan korban kekerasan seksual, sedangkan 119 oran lainnya tidak pernah mengalami peristiwa tersebut. Jangan sampe yaaa naudzubillah min dzalik. Aku jadi kembali mengingat para demonstran Aksi Selasaan yang getol untuk melakukan aksi di tengah pandemi ini, baik secara langsung turun ke jalan dan juga via daring. Apa yang dilakukan merupakan upaya untuk semua orang agar gak mendapatkan kekerasan seksual, dan menjaga setiap orang tetap sehat dari gangguan kesehatan mental. Kalo melihat lagi isi dari RUU P-KS itu sendiri, terdapat narasi yang melengkapi pasal 1 angka 8 UU No. 31 tahun 2014 tentang perlindungan korban dan saksi.
Nah, aku mau cerita juga nih kenapa sih jaminan adanya pemulihan psikologis bagi korban itu penting banget banget banget. Selama ini Indonesia masih berpikir jika penyelesaian kasus kekerasan seksual cukup sampai pemidanaan bagi pelaku. Nyatanya, korban masih harus melalui trauma panjang setelah mengalami kekerasan seksual. Di dalam RUU P-KS yang sudah pernah aku #KupasTuntas di sini juga memberikan jaminan pemulihan psikologis bagi korban.
Negara seharusnya menyadari jika tidak semua korban kekerasan seksual mampu untuk menjangkau layanan psikologis. Salah satunya adalah karena biaya layanan psikologis yang tergolong tidak murah dan keberadaan psikolog serta psikiater yang terbatas di masing-masing daerah. Sehingga negara seharusnya mampu memprioritaskan penyelesaian kasus kekerasan seksual bagi korban dengan memberi bantuan layanan psikologis bagi setiap korban yang berkelanjutan sampai korban benar-benar pulih.
Anyway, pas banget hari ini merupakan Hari Kesehatan Mental Dunia. Hari tersebut diperingati setiap tahunnya pada 10 Oktober yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Sudah pasti, gangguan kesehatan mental dapat dirasakan oleh siapapun, apalagi di tengah wabah COVID-19. Tentu saja, orang-orang yang gak pernah mengalami kekerasan seksual merasakan gangguan kesehatan mental karena pekerjaan, masalah pribadi, memutar otak besok mau makan pake apa, prihatin dengan nasib anggota keluarga yang mengalami kekerasan seksual, dan banyak lagi. Bagaimana dengan korban kekerasan seksual yang merasakan trauma dan hingga sekarang gak mendapatkan keadilan? Wah! Aku semakin sedih dan ambi nih untuk mendukung pengesahan RUU P-KS. Kalo Ukhti dan Akhi, gimana?
Sumber:
- Adi Adhiat, “Korban Kekerasan Seksual Rawan Kena Gangguan Mental, Ini penjelasan Pakar,” kbr.id, https://kbr.id/kesehatan/02-2019/korban_kekerasan_seksual_rawan_kena_gangguan_mental__ini_penjelasan_pakar/98776.html diakses pada 8 Okt 2020
- Ajeng Anggriani, “Cerita 3 Kota Menjalankan Aksi Selasaan,” mahardika.org, https://mahardhika.org/cerita-3-kota-aksi-selasaan/ diakses pada 8 Okt 2020
- LBH Makassar, “ LBH Minta Layanan Pemulihan Pemulihan Psikologis Korban Kekerasan Seksual Dioptimalkan”, lbhmakassar.org, http://lbhmakassar.org/publikasi/catatan-akhir-tahun/lbh-minta-layanan-pemulihan-psikologis-korban-kekerasan-seksual-dioptimalkan/ diakses pada 9 Oktober 2020
- RUU P-KS dalam Risalah Kebijakan oleh Komnas Perempuan