Assalamu’alaikum Akhi dan Ukhti,
Pada tanggal 26 Agustus 2020, Ibnu berkesempatan mengikuti diskusi bersama PKBI dan para pemimpin agama progresif untuk membahas RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Seperti kita tahu, situasi negara saat ini memang sedang berada di situasi yang kritis, pasal-pasal di RKUHP memperlihatkan kepada kita semua bahwa negara mulai masuk dan mengintervensi sektor privat warga negaranya. Pertemuan kali ini tentu berusaha untuk menghimpun pendapat masyarakat sipil dalam menghadapi tantangan kedepan, salah satunya bagaimana perspektif kemanusiaan dapat muncul di dalam rancangan kitab-kitab hukum pidana.
PKBI merasa perlu melibatkan para tokoh pemimpin agama progresif karena agama sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk mengkriminalisasi perempuan dan kelompok seksual minoritas. Prof Nina Nurmila sebagai narasumber mengatakan, “Saya sependapat dengan PKBI kalau draft pasal-pasal yang dipresentasikan itu bersifat diskriminatif (terhadap perempuan; kelompok seksual minoritas; dan masyarakat miskin). Tujuan diberlakukannya hukum adalah untuk penegakan keadilan, namun pasal-pasal RKUHP yang disebut dalam pembahasan hari ini justru akan menimbulkan over-criminalization dengan alasan menjaga moralitas.” Tentu kita tahu, diantara pengusung pasal-pasal ini adalah kelompok konservatif, baik Muslim maupun Kristen, namun kelompok “Islamis-konservatif” sepertinya lebih terlihat aktif bergerilya. Mereka merasa diri sebagai penjaga moral bangsa dan merasa tepat menggunakan kriminalisasi sebagai solusi. Mereka juga aktif melakukan kontra-narasi dengan menggunakan berbagai media terhadap ide-ide progresif yang dianggap bertentangan dengan pemikiran mereka.
RKUHP mengandung pasal-pasal terkait dengan aborsi yang cenderung mengkriminalisasi segala bentuk aborsi, hal ini mungkin dianggap ‘benar’ karena banyak orang yang tidak paham aborsi itu apa, padahal aborsi itu suatu proses yang panjang dan disitu ada 70%-80% tindakan yang terkait dengan medis. Prof Nina Nurmila mengungkapkan bahwa, wacana agama tentang aborsi memang mengundang beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama seperti; ulama-ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa perempuan boleh melakukan aborsi jika kehamilan belum mencapai 120 hari (sebelum ditiupkannya ruh). Ini didasarkan pada hadis “Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai muthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudgha pada masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh kedalam tubuhnya. Kemudian malaikat itu diperintahkanNya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan kesengsaraannya.” Sebagian ulama tidak membolehkannya, karena sejak pertemuan sperma dan ovum telah terjadi kehidupan. Namun, sebagaian ulama juga sepakat untuk membolehkan aborsi pada kehamilan setelah 120 hari dengan alasan medis, seperti membahayakan jiwa ibunya. Dalam kasus ini, aborsi dibolehkan bahkan diwajibkan. MUI termasuk yang mengharamkan aborsi, namun pada tahun 2005, MUI membolehkan aborsi pada perempuan korban perkosaan. Aborsi pada dasarnya berbahaya dan proses yang sangat tidak nyaman, sehingga perempuan yang mengambil keputusan aborsi pasti sudah memandang aborsi sebagai keputusan yang sulit namun harus diambil (yartakibu akhaffudh dharurayn). Karena alasan medis menjaga keselamatan nyawa ibu, maka aborsi tidak boleh dikriminalisasi, harus legal dan aman.
Bicara tentang aborsi menurut Bhikuni Sammodana, “Dalam Budha kita mengenal ada karma baik dan karma buruk bergantung pada niat setiap manusia, kami tidak mengenal dosa. Aborsi memang jauh dari nilai-nilai tetapi upaya untuk kriminalisasi aborsi yang dikarenakan tidak ada sebab dan sebabnya sendiri dilakukan oleh negara saat ini dengan tidak memberikan edukasi kepada masyarakatnya terkait dengan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender itu sendiri. Jadi sebenarnya yang harusnya mempunyai karma buruk adalah negara.”
Selanjutnya, membahas tentang kontrasepsi, sebenarnya sejak dahulu agama telah mengenal praktik kontrasepsi. Dalam hadis, disebutkan adanya praktek ‘azl, mencabut penis dari vagina sebelum keluarnya air mani, namun ini hanya boleh dilakukan atas seizing istri, mengingat istri juga berhak atas kenikmatan seksual. Narasi yang tersebar tentang wacana penggunaan alat kontrasepsi tidak terlepas dari pendapat apakah hubungan seksual itu untuk procreation ataukah boleh juga untuk recreation. Mereka yang berpendapat pertama, tidak membolehkan menggunakan alat kontrasepsi bahkan ada yang beranggapan hal tersebut menunda rezeki. Padahal dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan ada banyak pilihan kontrasepsi yang memang dipilih dan ini juga ilmu pengetahuan yang baik yang perlu diketahui manusia.
Pembahasan selanjutnya tentang wacana agama tentang kriminalisasi zina, menurut Prof Nina Nurmila, zinah (melakukan hubungan seksual di luar pernikahan) adalah haram berdasarkan QS Al-Isra ayat 32. Namun pelaku zinah hanya dapat dihukum dengan pembuktian yang sangat ketat, yaitu harus dapat mendatangkan 4 saksi yang dapat melihat sendiri penetrasi penis ke dalam vagina atau pengakuan pelaku. Mendatangkan 4 saksi ini hampr tidak dimungkinkan terjadi kecuali jika perzinaan tersebut memang dilakukan di tempat terbuka. Dalam sejarah islam tidak pernah terjadi pelaksanaan sanksi hukum perzinaan atas dasar pembuktian. Pemenuhan pembuktian perzinahan “sengaja” dipersulit oleh islam dengan tujuan untuk menutupi agar aib perzinahan tidak terungkap ke publik dan dianjurkan untuk bertaubat.
Di dalam agama Kristen tentang zina itu mungkin harus kembali ke akar agama kristen melihat agama. Jadi diasumsikan bahwa kehidupan manusia dicapai untuk tujuan akhir kemanusiaan baik untuk kehidupan individu maupun kolektif masyarakat, itu sebabnya agama itu dekat dengan urusan tubuh manusia. Keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa itu diwujudkan dalam ketakwaan dengan cara tubuhnya diregulasi, tujuan regulasi tubuh bukan untuk mengekang tetapi agar kehidupan makin di hayati selaras dengan hukum kemanusiaan dan relasi manusia. Begitupun, kontroversi tentang homoseksualitas mayoritas kita dikontruksi dengan heteronormativitas. Selama nilai ini dipegang, maka homoseksualitas dipandang menyimpang dan dosa, baik dalam agama Kristen maupun islam berdasarkan kisah Luth, yang jelas, penyebabnya diadzabnya kaum Luth bukan karena homoseksualitasnya, namun praktek seksual yang kasar dan pemerkosaan (menyerang tamu Luth). Perjuangan berat melawan kriminalisasi homoseksualitas masih akan sangat berat selama proses edukasi ke masyarakat tentang seksualitas masih heteronormatif.
Terakhir, ternyata dalam sejarah Islam tidak ada kriminalisasi terhadap tindakan menggelandang. Kriminalisasi ini merupakan praktek yang bias (bias kelas orang kaya). Islam justru dalam banyak ayatnya memerintahkan memberi atau menolong orang miskin, bukan memberikan denda yang uangnya tidak dimiliki oleh penggelandang. Ayat-ayat yang memerintahkan memberi kepada orang miskin misal QS 2:177, 2:215 dan 2:219. Bahkan, secara konstitusi, pasal 34, fakir miskin dan anak terlantar adalah tanggung jawab negara, sehingga pasal kriminalisasi menggelandang bersifat inkonstitusional.
Mungkin, itu sedikit cerita dari Ibnu, harapannya dengan dilakukannya diskusi ini, ke depan RKUHP tidak menjadi bias oleh salah satu agama saja tetapi harusnya bisa menjadi semacam kumpulan poin-poin kebijaksanaan dan inklusif dalam mengatur tata kelola hubungan sosial manusia.
Penulis: Yumna Nurtanty Tsamara