Assalamualaikum, Ukhti dan Akhi
Seperti kita tau, terkadang sosok bapak dalam keluarga adalah sosok yang penuh kuasa. Bapak seakan memiliki sebuah peran yang dirancang untuk menjadi perpanjangan tangan bagi komunitas dan masyarakat di dalam keluarganya. Pernyataan ini bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan karena yang jelas simbol-simbolnya terlihat di sekitar kita. Bapak secara ‘natural’ ditempatkan sebagai kepala keluarga, diharapkan menjadi pencari nafkah dan memiliki keleluasaan lebih untuk berinteraksi dengan publik. Oiya, seperti kita tahu komunitas tempat kita hidup memang didominasi oleh sistem patrilineal pun dalam sistem matrilineal ternyata bapak juga memiliki peran yang signifikan lo.
Kalau dipikir-pikir saat ini kita berjalan menuju sebuah masyarakat yang idealnya mulai menyambut bentuk-bentuk keluarga baru. Bentuk-bentuk baru keluarga itu seperti single parent dan keluarga ragam seksualitas. Ada pula ditemukan situasi ibu menjadi pencari nafkah utama, sedangkan bapak tidak bekerja dan justru aktif di komunitas sekitar rumah. Keterbukaan kita terhadap bentuk-bentuk baru ini seharusnya bukan gangguan terhadap nilai-nilai ketahanan keluarga, melainkan proses alami yang membuktikan bahwa peradaban manusia itu dinamis dan terus berkembang.
Tidak dapat dielakkan lagi kalau bentuk tradisional keluarga inti—ayah, ibu, anak—masih menduduki posisi nomer satu ketika kita membicarakan keluarga. Sedikit latihan, apabila ada seseorang yang mengucapkan kata ‘keluarga’ yang pertama kali terlintas dalam kepala kita kemungkinan besar adalah gambaran ayah, ibu, dan anak karena memang hasil pendidikan dari kita kecil mengajarkan keluarga seperti itu (lirik buku teks pendidikan kewarganegaraan). Konsep yang kaku ini berlanjut hingga kita dewasa yang disuguhi media dan juga iklan yang menguatkan peran gender tersebut. Misalnya nih ya, iklan bumbu masak menempatkan perempuan di dapur sambil memasak atau acara olahraga yang dipenuhi simbol-simbol maskulin untuk menarik penonton lelaki.
Ayo kembali ke topik sosok bapak dalam keluarga yang mempunyai kuasa. Sebenernya dengan kuasa yang bapak miliki, bapak bisa memilih untuk mengajarkan nilai-nilai baik ke pada anak-anaknya, nilai tersebut di antaranya adalah nilai anti kekerasan dan keadilan bagi perempuan baik istri maupun anak perempuannya. Dalam pencarian sosok bapak yang menanamkan nilai baik itu, Ibnu menemukan keluarga Ndelo yang kisahnya menarik untuk disimak loh kawan!
Keluarga Ndelo adalah pasangan suami istri yang memiliki tiga anak perempuan. Anak bungsu, bernama Debbie Ndelo cerita kepada Ibnu tentang bapak Johanis Ndelo dan nilai yang diajarkan dalam keluarga. Debbie mengaku ‘Sebe’, panggilan sayang untuk sang bapak, tidak pernah sekalipun melakukan kekerasan atau menyakiti mereka para perempuan yang tinggal di bawah satu atap yang sama dengannya. Sebe menanamkan nilai demokrasi di antara anak-anaknya, tidak membedakan sulung atau bungsu. Pembawaannya pun tidak memaksakan wibawa berkuasa yang memisahkan kedekatan emosional antara bapak dan anak. “Kami bertiga jika ngobrol dengan ayah seperti bicara dengan sahabat kami sendiri, malah kadang diajak bercanda,” kata Debbie.
Bertambah tahun bahkan sampai saat ini Debbie tidak menemukan perlakuan berbeda oleh sang bapak. Sebe tidak memaksa anak-anak perempuannya untuk harus melakukan peran yang dipaksakan masyarakat pada perempuan, misalnya harus selalu di rumah, pintar masak, bisa mengurus rumah dan lainnya. Anak diberi wewenang penuh atas keputusan dan tubuhnya— misalnya dengan bapak membebaskan anak untuk menentukan waktu yang tepat untuk menikah. Sehingga ia serta kakak-kakak perempuannya tidak dipaksa untuk segera menikah karena bagi bapak Johanis “semua akan datang indah dan tepat pada waktunya, jangan buru-buru jika belum benar-benar siap berumah tangga.”
Sebe berasal dari suku Sumba, sedangkan ibu dari suku Batak. Pernikahan dalam adat Sumba mengenal tradisi pemberian belis atau mas kawin berupa gading gajah, kuda, babi, atau simbol lain yang mengandung makna penghargaan di Nusa Tenggara Timur. Rata-rata, perempuan Sumba yang menikah akan melewati proses ini dan akan ada pembicaraan antara dua keluarga mengenai harta yang diberikan. Ketika kakak perempuan Debbie hendak menikah, keluarga dari Sumba turut hadir di Kupang. Salah satu Bapa Besar yang menghadiri pertemuan mengatakan, “Adik John, Yuni sudah sarjana dan 100% PNS. Harusnya tidak bisa hanya belis seadanya, kita ini keturunan Petua adat tertinggi dan terhormat.”
Di sini kawan #GengBeda dapat melihat betapa berpengaruh keluarga besar dalam penentuan pilihan individu. Tidak jarang, sosok bapak yang adalah perpanjangan tangan dari kehendak komunitas agar kita patuh pada keadaan tersebut dan bisa saja mengorbankan kebahagiaan anak sendiri. Namun, Sebe hanya minta simbol saja pada pihak mempelai lelaki, meminta seekor babi dan seekor sapi. Keputusan bapak ini menyulut argumen dari petua adat.
Yuni, yang dibesarkan dalam keluarga yang memberikan ruang untuk pendapat, mewakili Sebe dan membalas retorik tersebut dengan bilang: “Saya yang mau menikah dan Papa juga tidak mau menyusahkan anak mantu dengan utang di mana-mana hanya demi membayar belis yang mahal. Papa hanya ingin melihat saya dan cucu-cucu bisa menikmati hidup, bukan akhirnya uang gaji hanya menutupi utang.” Seketika itu, keluarga langsung diam dan tidak berkata-kata. 80% dari biaya acara nikah merupakan tabungan kakak dan suaminya. Bagi Sebe, yang terpenting adalah anak-anaknya bisa menghidupi keluarga sendiri dengan layak, bertanggung jawab, cinta Tuhan, dan sesama.
Pak Johanis Ndelo sudah hidup merantau jauh dari kampung halaman sedari muda. Sejujurnya, anak-anak jarang bertemu bapak karena Pak Ndelo bekerja di kabupaten yang berbeda, berkantor di BKKBN Timor Timur yang berlokasi di Viqueque. Pak Ndelo berprinsip bahwa pekerjaan rumah tangga tidak dibebankan semua pada ibu. Debbie ingat ketika Pak Ndelo pensiun dari jabatan PNS di tahun 2009, ia turut mengurus rumah seperti menyapu, masak, dan belanja ke pasar. Beban ganda yang biasanya dialami oleh ibu dalam keluarga—yang harus bekerja di pagi hari—terbantukan dengan kesediaan bapak untuk juga berperan dalam pekerjaan rumah.
Sebagai anak perempuan, Debbie mewakili kakak-kakak merasa tidak pernah dipaksa mengubah diri mereka demi mengikuti kemauan bapak. Meskipun sempat bicara ingin anak-anak semua menjadi PNS, Pak Ndelo tidak memaksa ketika Debbie tidak ditakdirkan menjadi pegawai negeri. “Papa mendukung pilihan saya ketika saya mengutarakan ingin berkelana ke Australia. Katanya, selama punya niat yang baik dan dilakukan dengan sukacita, keep going,” tutupnya. Sosok bapak dalam keluarga tidak harus keras dan jauh secara emosional dengan anak-anaknya. Pak Johanis Ndelo buktinya.
Sumber : Hasil wawancara langsung bersama Debbie.
Penulis: Jessica Rachel