Sudah membaca perkenalannya Ibnu di sini belum gaes? Akhi Ibnu ini keren sekali yaa. Ngerti ilmu agama tapi tetap kritis. Dia menguliti RKUHP dengan perspektif nilai-nilai Islam looh. Bijimane gak keren coba. Secarakan kebanyakan orang malah menjadikan agama sebagai alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan kaum marjinal. Nah Akhi Ibnu ini keren karena memadukan nilai-nilai agama dengan prinsip kesetaraan dan Hak Asasi Manusia.
Kalau Akhi Ibnu membahas RKUHP, Pedro akan membahas RUU Ketahanan Keluarga. RUU ini secara perspektif merugikan perempuan loh gaes. Jadi harus kita pantau terus perkembangannya. Memang yaa DPR MPR kita belakangan sedang ngawur-ngawurnya. Bukannya mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sudah ditunggu oleh banyak orang untuk melindungi perempuan korban kekerasan seksual, eh malah ada RUU Ketahanan Keluarga yang salah satu pasalnya terang-terangan mendomestifikasi perempuan.
Yang Pedro maksud adalah Pasal 25 ayat 2 dan 3 tentang kewajiban suami dan istri. Dalam RUU ini seorang suami bertugas untuk menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, melindungi keluarga dan melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga.
Sementara seorang istri diwajibkan untuk mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, dan memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pedro bingung, yang sesuai dengan norma agama dan etika sosial itu yang bagaimana sih? Setahu Pedro etika sosial kita masih sangat dipengaruhi oleh cara pandang laki-laki yang tidak mendukung kesetaraan gender. Pembagian peran di atas hanya mengukuhkan budaya patriarki dan mengkerdilkan peran perempuan.
Dibandingkan dengan kewajiban istri, posisi suami dalam kewajiban ini lebih superior karena peranannya menjadi otoritas dan pengayom. Padahal belum tentu perempuan tidak bisa memimpin dan melindungi keluarga.
Faqihudin Abdul Kodir menjelaskan dalam bukunya Qiraah Mubadalah bahwa relasi suami istri harus didasarkan pada prinsip muasyarah bil ma’ruf (Saling berbuat baik antara suami/laki-laki dan istri/perempuan. Prinsip relasi ini bertujuan untuk menguatkan keduanya dan mendatangkan kebaikan. Tidak ada dominasi antara satu kepada yang lain dengan alasan apapun termasuk jenis kelamin. Prinsip ini menuntut dibukanya fleksibilitas pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan sehingga laki-laki juga bisa dituntut untuk berkontribusi dalam mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana perempuan juga bisa dituntut berkontribusi dalam mencari nafkah. Prinsip ini menempatkan kebutuhan keluarga adalah kewajiban bersama.
Setelah mengerti prinsip itu Pedro jadi mengerti bahwa kehadiran negara (melalui UU) dalam pembagian tugas pasangan suami istri ini mempunyai potensi masalah yang besar. Pembagian peran yang fleksibel cukup diserahkan kepada pasangan yang menjalaninya sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing saja. Tugas kita sekarang adalah berkampanye menolak RUU Ketahanan Keluarga. Semangat!
Sumber:
Kodir, Faqihudin Abdul. 2019. Qiraah Mubadalah. Semarang: IRCiSoD
Penulis:
Firdaus