Minggu lalu, tepatnya 5 Mei di seluruh dunia sedang memperingati Hari Bidan Internasional. Siapa nih di antara kalian yang punya mimpi jadi bidan, keluarga atau teman yang bekerja sebagai bidan? Sudah kasih ucapan “Selamat Hari Bidan Internasional” ke mereka yang bekerja sebagai bidan belum?
Ternyata nih tugas bidan itu enggak hanya membantu perempuan hamil yang mau periksa kehamilan atau melakukan persalinan lho. Tapi ada tugas lain yang juga dilakukan oleh beberapa bidan, yaitu menjadi konselor untuk perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan (KTD).
Nah, kemarin Sesa baru ngobrol dengan salah satu bidan progresif di Jakarta. Sesa kepo soal gimana sih konseling untuk perempuan korban perkosaan atau perempuan lain yang mengalami KTD ini.
Apa sih bu bidan KTD itu?
Setiap kehamilan seharusnya terjadi atas persetujuan atau consent dari perempuan. Hal ini karena perempuan menjadi orang yang paling menanggung beban dan tanggung jawab besar atas janin yang ada dalam kandungan. Tapi, banyak juga kehamilan yang terjadi tanpa adanya persetujuan dari perempuan. Ini yang disebut kehamilan tidak direncanakan (KTD).
KTD bisa terjadi pada setiap perempuan, baik yang belum maupun sudah menikah. KTD biasanya terjadi pada korban perkosaan yang dilakukan pacar, suami, atau orang lain. Meski begitu, KTD juga bisa dialami di luar kasus perkosaan. Misalnya perempuan yang sudah memiliki banyak anak atau berusia lanjut namun tetap subur. Sehingga saat melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi masih memiliki kemungkinan hamil. Sementara dia enggak merencanakan kehamilan itu.
Apa yang harus dilakukan saat mengalami KTD?
Mungkin banyak dari perempuan yang pada awalnya enggak sadar jika mengalami KTD. Di bulan pertama, biasanya mereka akan berpikir jika siklus menstruasinya terlambat. Setelah beberapa bulan enggak mengalami menstruasi baru disadari jika ada yang berubah dengan masalah reproduksinya.
Biasanya saat pertama kali datang ke bidan, perempuan yang mengalami KTD akan bingung, panik dan takut. Khususnya bagi korban perkosaan, tentu rasa panik dan ketakutan itu semakin besar saat masyarakat sekitar justru memojokan dan menyalahkannya atas perkosaan dan KTD yang dialami. Mereka juga bingung harus melakukan apa. Sebaiknya, saat itu lakukan konseling dengan bidan yang juga berkapasitas sebagai konselor KTD untuk menanganinya.
Untuk perempuan yang mengalami KTD sebetulnya ada dua opsi yang bisa dipilih, yaitu melanjutkan kehamilannya atau menghentikan kehamilannya. Pilihan itu diserahkan kepada perempuan yang mengalami KTD selaku pasien yang mengandung.
Apa menghentikan kehamilan dibolehkan?
Secara etika medis, sebetulnya menghentikan kehamilan yang dilakukan dengan sengaja memang gak boleh dilakukan. Baik bidan, perawat maupun dokter dilarang melakukan hal itu. Tapi kenyataannya, ada kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan berbahaya baik bagi perempuan hamil maupun janinnya jika tetap dilanjutkan. Ada juga KTD yang dialami korban perkosaan yang tentu akan menambah beban korban jika tetap melanjutkan kehamilan. Untuk kehamilan seperti itu, penghentian kehamilan dengan sengaja diperbolehkan dilakukan oleh dokter spesialis kandungan atau bidan yang telah menjalani pelatihan khusus terkait hal ini.
Dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur kebolehan untuk menghentikan kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis, berbahaya bagi kesehatan janin atau ibu, dan korban perkosaan. Korban perkosaan yang mengalami KTD juga diperbolehkan melakukan hal ini, karena secara medis, sangat besar kemungkinan jika perempuan tersebut mengalami gangguan baik fisik maupun psikis. Sayangnya hingga saat ini belum ada klinik atau rumah sakit yang secara resmi ditunjuk oleh pemerintah untuk menyediakan layanan penghentian kehamilan bagi korban perkosaan. Sehingga sampai saat ini penghentian kehamilan bagi korban perkosaan masih sulit untuk dilakukan.
Apa yang harus dilakukan sebelum menghentikan kehamilan?
Enggak setiap kehamilan bisa dengan bebas dihentikan. Secara medis dan hukum hanya ada beberapa keadaan yang membolehkannya, yaitu adanya indikasi kedaruratan medis yang membahayakan janin atau perempuan hamil dan korban perkosaan. Sebelum menghentikan kehamilan, ada beberapa hal yang wajib dilakukan oleh perempuan korban KTD seperti konseling dan USG.
Konseling menjadi hal utama dalam proses ini. Hal ini karena perempuan korban KTD harus benar-benar siap dan yakin dengan pilihannya untuk menghentikan kehamilannya. Jangan sampai pilihan yang telah dibuat akan menjadi penyesalan di lain hari. Selain itu proses konseling juga berguna untuk mengetahui penyebab terjadinya KTD pada pasien, entah karena pasien korban perkosaan atau kehamilan ini dialami oleh perempuan berusia lanjut dan telah memiliki banyak anak sehingga berbahaya bagi kondisi kesehatannya. Sementara USG berguna untuk mengetahui kondisi janin dalam kandungan. Ini untuk memastikan ada atau enggak indikasi medis yang membahayakan janin atau perempuan hamil.
Apa syarat-syarat bagi korban KTD yang ingin menghentikan kehamilannya?
Ada beberapa syarat jika korban KTD ingin melakukan penghentian kehamilan, yaitu usia janin enggak boleh lebih dari 8 minggu atau dua bulan. Penghentian kehamilan ini juga harus dilakukan atas izin dari perempuan yang hamil, tanpa paksaan dari siapapun. Izin ini enggak bisa diberikan oleh orang selain perempuan yang hamil.
Syarat lainnya yaitu dokumen seperti kartu tanda penduduk (KTP), harus didampingi oleh suami/pernyataan dari suami atau jika belum menikah ada orang tua/wali yang mendampingi atau surat pernyataan orangtua/wali.
Selain itu, perempuan korban KTD hanya bisa mengakhiri kehamilan di klinik yang sudah memiliki izin dan dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, yaitu dokter spesialis kandungan dan bidan yang telah mendapatkan pelatihan khusus.
Bagaimana proses penghentian kehamilan dilakukan?
Banyak banget yang berpikir kalau minum soda dan makan nanas atau durian itu bisa menghentikan kehamilan. Ternyata itu cuma mitos. Karena minuman dan makanan tadi enggak punya kandungan yang spesifik menghentikan proses kehamilan. Bisa jadi janin yang hidup dalam kandungan sangat kuat, sehingga masih tetap bertahan dalam kandungan.
Nah, kalau menurut petunjuk WHO, penghentian kehamilan bisa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mengkonsumsi obat atau melakukan operasi. Bidan sendiri hanya diperbolehkan untuk membantu melakukan penghentian kehamilan dengan cara mengkonsumsi obat. Ada dua jenis obat yang bisa digunakan secara bersamaan yaitu mifepristone dan misoprostol. Tetapi bisa juga hanya dengan misoprostol, hanya saja dosisnya harus dua kali lipat. Hanya saja di Indonesia akses terhadap obat-obatan ini masih sulit karena belum adanya layanan resmi yang ditunjuk pemerintah untuk menyediakannya.
Wah, ternyata bidan bisa juga menjadi kawan untuk para korban KTD. Mulai dari jadi konselor sampai orang yang membantu penghentian kehamilan. Hanya saja sampai sekarang orang yang bisa mengakses bantuan ini masih terbatas. Korban perkosaan yang mengalami KTD masih sulit melakukan penghentian kehamilan, hanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis yang mampu menjangkau bantuan itu. Selain itu, jumlah bidan yang bisa melakukan bantuan penghentian kehamilan juga masih terbatas. Ini karena pemerintah masih belum menunjuk klinik atau rumah sakit yang resmi melayani penghentian kehamilan bagi korban KTD.
Dengan kondisi sekarang saja, korban perkosaan yang mengalami KTD masih sulit untuk mendapatkan layanan penghentian kehamilan. Apalagi kalau sampai RKUHP benar-benar disahkan. Bisa-bisa, korban perkosaan dijerat pidana saat memilih penghentian kehamilan. Makanya, Sesa mau kawan semua menolak pengesahan RKUHP ini. Karena undang-undang ini sama sekali tidak berpihak pada korban.
Sumber :
Wawancara dengan anonim
WHO, Clinical Practice Handbook for Safe Abortion, diakses melalui https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/97415/9789241548717_eng.pdf;jsessionid=68F256259E2C6592B2F7221BCB8AAD79?sequence=1
Penulis : Siti Rahayu