Duh, perasaan Gema lagi enggak menentu nih. Sebulan ke belakang ini banyak banget berita dan informasi tentang virus corona. Gema jadi takut, tapi bingung juga harus melakukan apa.
Nah, sekitar seminggu yang lalu pemerintah mengumumkan kalau ada pasien yang terkena virus corona di Indonesia. Sejak informasi itu tersebar, reaksi masyarakat Indonesia juga beragam. Sebagian dari mereka mengalami kepanikan dan akhirnya melakukan panic buying dengan membeli bahan makanan, masker, maupun hand sanitizer secara berlebihan. Tapi, sebagian lainnya justru menanggapinya dengan santai bahkan ada yang menjadikannya bahan lelucon.
Salah satu bentuk lelucon yang Gema sempat lihat di Youtube yaitu ada lagu dangdut dengan judul Corona. Gema kira, itu ide untuk meredam kepanikan masyarakat di tengah wabah virus corona. Eh, tapi setelah dengar lagunya Gema jadi kesal. Selain tidak etis karena menjadikan wabah virus corona sebagai candaan, lagu ini juga berisi sentimen negatif kepada janda. Dan malah semakin mengukuhkan stigma yang selama ini melekat kepada mereka. Meski begitu Gema mengapresiasi permintaan maaf dari penyanyi lagu ini karena sudah menjadikan virus corona bahan lelucon. Tapi menurut Gema, lagu ini masih perlu untuk dikritisi dari sisi yang lain yaitu masalah sensitivitas terhadap kelompok perempuan, khususnya janda.
Nih, Gema kasih tahu ya penggalan lirik lagunya:
Corona, virus dari Cina
Komunitas rondo merana
Corona, merambah dunia
Komunitas janda yang membuat resah
Para istri yang ditinggal kerja, suaminya sedang berkencan dengan corona
Kalau dicermati, ada kata rondo yang dalam Bahasa Indonesia berarti janda. Janda dalam KBBI artinya wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Dalam lagu itu janda digambarkan sebagai perempuan yang membuat resah rumah tangga orang lain. Hmmm
Menurut Gema, dari lagu di atas terlihat kalau kondisi masyarakat awam di Indonesia masih cenderung patriarkis. Patriarki secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah sistem, struktur sosial, dan praktik yang didominasi laki-laki serta menekan dan mengeksploitasi perempuan. Hal ini dipicu perbedaan biologis antara laki-laki dengan perempuan yang menjadikan laki-laki seolah dipandang lebih kuat, sementara perempuan lebih lemah. Kemudian, sejak itu identitas perempuan selalu dihubungkan dengan identitas laki-laki, atau sering disebut liyan (the other). Laki-laki sering menjadi ukuran standar dan tolak ukur identitas hingga kualitas seorang perempuan.
Kenapa Gema bisa bilang begitu?
Coba saja renungkan seringnya perempuan hanya dianggap sebagai objek, sementara laki-laki yang menjadi subjek. Dengan posisi seperti itu, maka laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Padahal perempuan sebagai individu juga merupakan subjek yang memiliki kuasa penuh atas dirinya sendiri. Pandangan yang lazim di kalangan awam tentang kodrat perempuan yang hanya terbatas pada sumur, dapur, kasur dan hal-hal domestik lainnya menjadikan perempuan sebagai kelompok nomor dua.
Dengan gambaran kondisi masyarakat yang masih erat dengan budaya patriarki, stigma dan diskriminasi banyak dialami para perempuan. Hampir setiap perempuan dengan status sosial dan ekonomi yang beragam mengalaminya. Salah satunya adalah kelompok janda. Mereka cenderung mendapat stigma dan perlakuan diskriminatif dua kali lebih banyak dibanding perempuan yang belum menikah atau bersuami. Mereka pada akhirnya menjadi minoritas bahkan di kalangan perempuan itu sendiri.
Dari hasil Gema ngobrol dengan teman-teman #SaveJanda, ternyata kelompok janda khususnya janda cerai sering mengalami perlakuan tidak hormat yang dua kali lebih parah dibanding janda yang suaminya meninggal dunia. Ini karena janda cerai sering dianggap sebagai perempuan gagal dan sumber masalah dari perceraian itu, misalnya tidak bisa mengurus suami, tidak bisa mengurus anak, tidak mampu membangun dan menjaga komitmen serta masih banyak lagi.
Lebih jauh, kelompok janda juga selalu disalahkan atas setiap sikapnya. Misalnya saat ada seorang janda yang dinilai galak, maka sikap galaknya itu akan dihubungkan dengan status jandanya. Sindiran dan gunjingan semacam,”pantesan janda, abis galak sih,” menjadi kalimat yang akan dilontarkan. Sementara saat seorang janda memilih bersikap ramah, mereka cenderung dinilai kegatelan atau penggoda.
Tidak cukup di situ, bagi janda cerai seandainya mereka memilih untuk tidak memakai riasan wajah, maka dianggap tidak mampu merawat diri dan dandan cantik bagi suami. Lalu, kelompok janda juga rentan mendapat stigma lain seperti perempuan yang haus belaian, penggoda dan perebut suami orang. Lebih parah lagi, kelompok janda sering dianggap sebagai perempuan murahan yang bisa diajak kencan oleh sembarang laki-laki.
Selain itu, kelompok janda juga banyak mengalami perlakuan diskriminatif. Bentuk diskriminasi yang banyak terjadi adalah pengucilan, bahkan dari kaum perempuan sendiri yang bersuami karena takut suaminya direbut. Kemudian dalam rekrutmen kerja, pemberian pekerjaan karena rasa kasihan ( bukan karena kompetensi dari janda tersebut). Padahal yang dibutuhkan oleh kelompok janda saat ini adanya dukungan, bukan belas kasihan. Lalu, kelompok janda cenderung ditolak oleh keluarga calon pasangan barunya karena dianggap “bekas pakai” atau perempuan matre yang hanya ingin harta warisan saja.
Adanya stigma dan perlakuan diskriminatif di atas, pada akhirnya menjadi sumber ketakutan lain untuk perempuan yang sudah menikah dan mengalami KDRT dalam pernikahannya. Beberapa dari mereka pada akhirnya memilih untuk bertahan dalam lingkaran KDRT yang tidak pernah putus itu dan memilih diam meski mereka korban. Padahal dalam pernikahan bisa sangat mungkin pihak laki-laki juga ikut menjadi sumber ketidakharmonisan dan kerukunan keluarga.
Padahal secara psikologis, janda perceraian yang juga korban KDRT sangat membutuhkan bantuan untuk memulihkan kondisinya. Mereka membutuhkan dukungan baik moral maupun finansial untuk kembali percaya diri dan mampu menjalani kehidupan mendatang. Sementara bagi janda yang suaminya mengalami kematian, dukungan agar selalu kuat dan mampu melewati masa kehilangan menjadi hal yang dibutuhkan.
Karena sadar jika kelompok janda membutuhkan dukungan teman-teman #SaveJanda membentuk support group lewat WhatsApp dan mempertemukan kelompok janda dalam kegiatan reguler. Selain itu, ada juga program penyuluhan dan pemberdayaan ekonomi yang dibutuhkan oleh kelompok janda.
Sedangkan untuk melawan stigma dan perlakuan diskriminatif, teman-teman #SaveJanda juga rutin melakukan kampanye baik online maupun offline. Kampanye dilakukan untuk memupuk kesadaran bagi masyarakat tentang keberadaan kelompok janda yang seharusnya diperlakukan setara dan tidak lagi dianggap ‘lawan’ bagi sesama perempuan.
Nah, jadi Gema ingatkan kembali ya dengan adanya virus corona ini jangan sampai kita malah kehilangan sensitivitas kita terhadap isu perempuan ya. Waspada terhadap virus itu harus, tapi tetap menghargai kesetaraan juga tidak boleh dilupakan.
Referensi :
Lagu Corona diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=PNFzh5TFMZA
Masih Maraknya Diskriminasi Janda dalam Masyarakat diakses melalui https://koranntb.com/2019/12/12/masih-maraknya-diskriminasi-janda-dalam-masyarakat/
Perempuan dalam Kuasa Patriarki, Fakultas Sastra Universitas Padjajaran 2009 diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/perempuan_dlm_kuasa_patriarki.pdf
Buku Saku: Kontekstualisasi Gender Islam dan Budaya diakses melalui https://batukarinfo.com/system/files/2.%20Buku%20Saku%20Gender.pdf
Wawancara dengan Founder #SaveJanda Mutiara Proehoeman